SEMARANG, beritajateng.tv – Aktivitas penambangan tanah urug di Desa Geneng, Kecamatan Batealit, Kabupaten Jepara, dipastikan tidak mendapat izin resmi atau ilegal.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah menyatakan wilayah tersebut merupakan lahan sawah lindung. Sehingga tidak bisa diproses sebagai kawasan pertambangan.
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Agus Sugiharto, menegaskan penambangan tanah urug di Desa Geneng, Kecamatan Batealit, Kabupaten Jepara, tidak bisa diproses sebagai wilayah pertambangan. Status tata ruangnya sudah jelas ditetapkan sebagai lahan sawah lindung.
“Dari laporannya kan memang ada tim terpadu di Jepara. Jadi ada Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Dinas Lingkungan Hidup, Satpol PP, Dinas Tata Ruang, cabang Dinas kami di wilayah Kendeng Muria yang di Pati,” ujar Agus saat beritajateng.tv hubungi Rabu, 15 Oktober 2025.
Agus menyebut, tim terpadu tersebut telah meninjau langsung ke lokasi. Dalam pemeriksaan, tutur dia, petugas menemukan aktivitas penambahan tanah urug di lahan yang secara tata ruang masuk kawasan lindung.
“Tim sudah melakukan peninjauan ke sana, memang di sana ada kegiatan penambahan tanah urug. Tapi sudah ada penyampaian bahwa informasi dari Kabupaten Jepara sesuai tata ruang daerah tersebut merupakan wilayah yang sudah di plot sebagai wilayah lahan sawah terlindungi,” lanjut Agus.
BACA JUGA: Dinas ESDM Jateng Pertimbangkan Tutup Sumur Migas Dekat Pemukiman: Belajar dari Kasus Blora
Selain soal penambangan, Agus juga menyoroti persoalan lahan di sekitar wilayah tambang yang pernah terkaitkan dengan rencana pembangunan perumahan. Namun, rencana tersebut tidak berjalan karena ada persoalan ganti rugi yang belum tuntas.
“Dan juga berdasarkan informasi ada juga wilayah pemukiman sing diributke (yang diributkan) itu katanya pernah jadi perumahan. Tapi alasan warga belum semuanya diberikan kerohiman atau ganti rugi atas lahan,” katanya.
Agus menjelaskan, ketidakjelasan status kepemilikan dan peruntukan lahan tersebut membuat sebagian warga yang sudah lama menunggu ganti rugi memilih mempertahankan tanahnya. Sementara itu, secara regulasi, kawasan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai wilayah pertambangan.
“Warga-warga yang sudah lama menunggu lahannya tidak juga mendapatkan ganti rugi. Lahannya malah mau dijadikan lahan pertanian dan kemudian ditambang lagi. Tapi secara regulasi, apa pun alasannya, wilayah tersebut secara tata ruang bukan merupakan wilayah pertambangan. Sehingga tidak bisa penerbitan perizinan sesuai ketentuan yang ada,” tegasnya.
BACA JUGA: Tebing Tambang Galian C di Perbatasan Semarang-Demak Longsor, Sopir Dump Truck Tewas
Agus menambahkan, meskipun wilayah tersebut tidak boleh jadi tambang, pemerintah membuka kemungkinan pemanfaatan lahan sesuai peruntukan tata ruang, yaitu untuk pencetakan sawah.
Langkah ini menurutnya dapat terlaksana dengan skema izin penjualan yang pemerintah kabupaten/kota atur dan setujui.
“Ada solusi seandainya memang itu akan ada pemberlakuan pencetakan sawah ya, bisa terlaksana dengan izin penjualan. Tapi harus desainnya benar dan kabupaten/kota setujui. Bahwa nantinya wilayah tersebut atau lokasi itu memang akan di jadikan lahan persawahan sesuai dengan tata ruang,” jelas Agus.
Menurutnya, konversi lahan menjadi sawah tidak bisa sembarangan. Ada proses penataan lahan yang harus di rancang agar sawah tersebut bisa produktif dan sesuai tata ruang daerah.
“Namun di dalam melakukan untuk menciptakan lahan sawah itu perlu kegiatan penataan untuk bisa menjadi sawah di kemudian hari. Nah, tapi ini tentunya keputusannya semua di Kabupaten/Kota yang memiliki tata ruang,” tambahnya.
Proses izin tambang, kata Agus, bisa terlaksana apabila lokasi tersebut telah memperoleh persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau PKKPR dari pemerintah kabupaten/kota, yang menjadi dasar hukum penetapan suatu wilayah sebagai area pertambangan sesuai rencana tata ruang daerah.













