Adanya tren lari, alih-alih semakin banyak anak muda yang peduli akan kesehatan, nyatanya hanya berbondong-bondong mengikuti tren.
Saat olahraga jadi lifestyle dan ajang validasi diri
Idealnya, lanjut dr Sigid, Strava menjadi aplikasi penunjang olahraga. Misal untuk mencatat progres aktivitas seperti jarak, kecepatan, waktu, hingga detak jantung.
Akan tetapi, menggunakan joki Strava berarti menggunakan data-data palsu. Sehingga, fungsi lari sebagai olahraga itu tak bisa tercapai.
“Kalau memang kita fokus ke olahraga seharusnya nggak terjadi seperti itu. Berarti tujuannya tidak untuk sehat, tapi sekedar untuk lifestyle, pencitraan,” kata dr Sigid.
BACA JUGA: Ketua KONI: Lingkungan Sehat Berpengaruh Bagi Kegemaran Seseorang dalam Olahraga
Ia menilai, olahraga tak bisa jika berdasarkan perasaan FOMO (Fear of Missing Out) atau takut ketinggalan tren semata. Sehingga, aplikasi Strava juga harus kembali ke fitrahnya. Yaitu untuk mengukur kapasitas seseorang dalam berolahraga.
“Sebenarnya bagus juga kalau jadi lifestyle, bisa menunjang kesehatan, jadi tren olahraga itu ada efek positif. Tapi memang harus berbarengan dengan kejujuran,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila