SEMARANG, beritajateng.tv – Stigma sarung yang kerap kali disangkutpautkan dengan pakaian tradisional dan kuno berhasil dipatahkan oleh seorang pemuda asal Kendal, Jawa Tengah. Pasalnya, sarung secara keseharian lebih banyak dikenakan oleh tokoh agama yang telah berumur.
Dalam acara formal pun, sarung lebih sering menjadi busana yang dikenakan oleh tokoh agama dari pondok pesantren.
Berbeda dengan Muhammad Satriyo Ulil Albab, pemuda kelahiran tahun 2000 silam yang saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Ulil, sapaan akrabnya, dikenal oleh rekan-rekannya sangat lekat dengan sarung.
Bahkan, saat ia mengikuti wisuda sarjana beberapa tahun lalu, Ulil menjadi satu-satunya peserta wisuda UGM yang berani tampil beda dengan mengenakan sarung.
Masih dalam suasana Hari Sarung Nasional yang jatuh pada Minggu, 3 Maret 2024 sekaligus menyambut bulan suci Ramadan, Ulil, bercerita kepada beritajateng.tv perihal makna sarung yang belum banyak orang ketahui.
Eksistensi sarung yang menjadi busana favoritnya, ujar Ulil, tak lepas dari sebuah filosofi Jawa yang cukup populer.
“Ada filosofi Jawa ‘Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono’. Bagaimana kita melihat seseorang, baik harga diri hingga kepribadiannya bisa melalui ucapan dan busana yang dia kenakan. Dan sarung salah satunya,” ujar Ulil melalui sambungan WhatsApp, Senin, 4 Januari 2024.
Tak hanya itu, ‘bibit, bebet, bobot’ yang selama ini turut menjadi pegangan orang Jawa, khususnya dalam jenjang pernikahan, juga menurutnya berkaitan dengan penggunaan sarung sebagai busana pilihan.
“Bobot itu kualitas diri, bibit itu mempertanyakan asalnya dari mana, dan bebet itu kualitas yang tampak di luar seperti busana. Jadi busana seseorang itu bisa jadi rambu-rambu, kira-kira orang tersebut seperti apa,” terangnya.
BACA JUGA: Apresiasi Hari Sarung Nasional, Gus Yasin Berharap Mampu jadi Tren Kalangan Muda
Alasan Ulil kenakan sarung saat wisuda
Ulil menuturkan alasannya memilih mengenakan sarung saat wisuda. Memilih memakai sarung tak semata-mata untuk mencerminkan diri sebagai seorang santri atau hal serupa lainnya. Melainkan, jelas Ulil, sarung yang ia kenakan menjelaskan kisahnya selama menempuh pendidikan di bangku kuliah.
“Saat wisuda saya mengenakan sarung. Banyak yang mempertanyakan, tidak sedikit yang mengatakan norak, tapi tidak apa-apa karena tidak semuanya tahu makna dari sarung itu,” ungkap Ulil.
Menyelesaikan pendidikan Sarjana di Fakultas Filsafat membuat Ulil merasa bahwa ia memikul tanggung jawab besar terhadap ilmu yang ia dapatkan selama perkuliahan 8 semester.