“Sehingga dari permasalahan yang Pak Okto dan juga teman-teman sampaikan ini bisa disampaikan di fraksi dengan, mengundang semua komisi yang terkait,” jelas dia.
Saleh menegaskan, pembuatan produk hukum transportasi online tidak bisa dilakukan di level daerah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya, regulasi harus lebih dulu terbit di tingkat pusat.
“Enggak bisa, karena harus ada undang-undangnya dulu. Kalau misalnya teman-teman bikin begitu, masuk ke Kemendagri pasti ditolak. Ketika DPRD dan gubernur bikin perda itu ada fasilitasi dari Kemendagri. Kalau tidak ada cantolannya, pasti nanti tidak akan keluar persetujuan dari Kemendagri,” terang dia.
“Jadi atasnya dulu yang kita beresin,” pungkas Saleh.
Driver ojol keluhkan fitur akses hemat, banyak order namun biaya langganan capai Rp390 ribu per bulan
Di sisi lain, Koordinator Ojol Jawa Tengah, Thomas Aquino, mengungkapkan keluhan para driver terhadap berbagai kebijakan aplikator, salah satunya program Grab Akses Hemat yang publik driver nilai memberatkan.
“Kami harus membayar biaya langganan Rp13 ribu per hari. Kalau kalikan sebulan jadinya Rp390 ribu, itu bisa untuk kebutuhan rumah tangga. Karena terbebani, banyak driver akhirnya mengabaikan faktor keselamatan,” ucap Thomas.
Selain soal tarif dan potongan biaya, Thomas juga menyoroti skema insentif yang dianggap merugikan driver ojol.
“Dulu insentif masih jelas, sekarang seperti prank. Target sudah dikejar, tapi kalau lewat satu menit saja, bonus hangus,” tambah Thomas.
Thomas menjelaskan, sistem Grab Akses Hemat membuat pendapatan driver tertekan. Jika tidak ikut program itu, orderan akan lebih sedikit.
“Kalau di Semarang, misalnya di Undip atau Unnes, Grab Akses Hemat sehari bisa 20 orderan lebih. Kalau enggak ikut, orderan lari ke driver lain,” pungkas Thomas. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi