Imam Al-Ghazali berpesan agar setiap selesai berbuka puasa kita menerapkan sikap khauf dan rajā’ terhadap puasa yang sudah kita laksanakan. Untuk satu ibadah berupa puasa saja perlu kita tanamkan prinsip ini apalagi setelah selesai selesai satu bulan dengan segala amalan sunah di dalamnya.
Bayangkan, orang yang sudah beribadah maksimal saja tidak boleh berbangga diri dan terlalu percaya diri dengan amalnya, apalagi mereka yang ibadahnya biasa-biasa saja.
Lanjutan Khutbah Idul Fitri
اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah
Melalui khutbah Idul Fitri ini saya ingin menyampaikan, puasa tidak saja ibadah yang memiliki spiritual, tetapi juga ritual keagamaan yang mendidik kepekaan sosial pengamalnya. Saat kita berpuasa, sebagaimana pendapat Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, sejatinya kita sedang tergembleng agar memiliki rasa empati tinggi. Sebab, orang yang berpuasa akan merasakan betapa payahnya menahan lapar dan haus selama kurang lebih tiga belas jam dalam kurun waktu satu bulan.
Dengan pengalaman demikian kita akan sadar bahwa seperti inilah nasib saudara-saudara kita yang hidupnya berkekurangan yang untuk mencari sesuap nasi saja harus memeras keringat di bawah sengatan terik matahari. Barangkali lapar dan haus kita akan berakhir di waktu magrib, tetapi saudara kita yang hidup dengan ekonomi sangat rendah boleh jadi merasakan lapar sepanjang hayat masih dikandung badan, bahkan untuk makan esok harinya saja masih bingung harus mencari kemana lagi.
Saat Idul Fitri sudah tiba, sudah seharusnya kita mencapai titik empati sedemikian rupa karena sudah melalui hari-hari berpuasa selama satu bulan. Namun sayang, kadang kita sendiri justru terlalu larut dalam kegembiraan yang kita sebut sebagai ‘hari kemenangan’. Berasyik-ria menerima THR, memakai baju baru, menikmati hidangan spesial Idul Fitri, berkumpul dengan sanak saudara yang masih utuh, dan sejumlah momen keceriaan lainnya.
Namun, kita lupa bahwa di hari kemenangan ini boleh jadi masih ada saudara yang jangankan menerima THR, pekerjaan dengan gajih tetap saja tidak punya. Jangankan menikmati hidangan ketupat dan sedap opor ayam, untuk makan sehari-hari saja masih harus mengetuk pintu dari satu tetangga ke tetangga yang lain. Juga mereka yang sudah tidak memiliki keluarga karena tertimpa bencana, umpamanya. Jangankan berkumpul dengan keluarga lengkap, sosok ibu dan ayahnya saja telah tiada.
Mari kita renungi kembali pada momen suci ini. Sudahkah kita merasakan hari kemenangan dengan meraih nilai-nilai kemenangan yang seharusnya? Kemenangan yang bukan karena kita telah finish melewati jalan terjal Ramadhan, tetapi kemenangan sesungguhnya yang tidak saja berupa kematangan spiritual, melainkan juga pencapaian kepekaan sosial.
Idul Fitri, Kemenangan yang Sesungguhnya
اللهُ أَكْبَرُ ٣× لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri
Puasa sendiri sejatinya representasi dari sejumlah ibadah yang ada. Sebab, sebagaimana puasa, ibadah-ibadah lain juga memiliki semangat spiritual dan sosial yang harus kita raih kedua-duanya. Sibuk mencari pencapaian spiritual saja tapi mengabaikan aspek sosialnya hanya akan membuat kita buta terhadap lingkungan kita hidup. Sebaliknya, terlalu sibuk dengan aspek sosial tapi mengabaikan sisi ritualnya hanya akan membuat kita jauh dari Allah swt. Dalam satu hadits diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فُلَانَةُ تَصُومُ النهار ، وتقوم اللَّيْلَ ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا . قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ . قَالُوا : فُلَانَةُ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَاتِ ، وَتَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Sekalompok sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan ahli puasa dan ahli ibadah malam, tapi dia masih suka menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Ada pula seorang perempuan yang hanya menunaikan shalat lima waktu, bersedekah dengan sepotong keju, dan tidak menyakiti tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk surga.’” (HR Al-Hakim).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa shalat yang merupakan tiang agama saja tidak menjamin kita masuk surga jika kita masih berbuat buruk kepada sesama manusia.
Demikianlah khutbah Idul Fitri yang khatib sampaikan. Semoga di momen kemenangan ini membuat kita merasakan kemenangan yang hakiki. Kemenangan yang tidak saja menandai kita telah merampungkan satu bulan berpuasa, tetapi juga telah mencapai kematangan spiritual dan sosial yang sesungguhnya.
تقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ عِيْدِنَا، وَأَعِدْهُ عَلَينَا أَعْوَامًا عَدِيْدَةً أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنًا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ