“Papa saya akhirnya jadi pengusaha toko klontong, bukan jual obat. Saya juga bukan peracik obat. Yang nerusin sekarang paman. Ibaratnya kami bebas mau melakoni hidup sebagai apa karena udah diteruskan paman,” papar Adjie.
Generasi keempat tak teruskan bisnis toko obat Hway An Tong, pilih jadi peracik kopi
Selain tak memiliki minat dalam dunia obat-obatan, Adjie ternyata punya alasan lain mengapa ia ogah melanjutkan usaha keluarganya. Alasannya cukup masuk akal, Adjie tak begitu mengusai kultur leluhurnya.
Menurut Adjie, untuk jadi tabib atau peracik obat China tradisional wajib tekun dan teliti. Kakek buyutnya bahkan belajar menjadi tabib sejak umur 10 tahun. Tak heran jika kakek buyutnya bisa mendiagnosa suatu penyakit hanya melalui denyut nadi.
“Enggak mudah, bahasa Mandirin saja aku enggak bisa. Untuk bisa ngasah kepekaan meraba denyut nadi juga enggak gampang. Apalagi sekarang Pecinan ramai lalu lintas,” paparnya.
BACA JUGA: Daftar 5 Kafe Semarang ala Tempo Dulu, Lokasinya di Sekitar Kota Lama
Singkat cerita, Adjie dan ayahnya memilih jalan yang berbeda dari leluhurnya. Mereka berdua memilih menjadi pengusaha layaknya orang-orang Tionghoa lainnya.
Kini, selain membuka toko kelontong, Adjie juga mencoba menekuni hobinya yang lain, yakni meracik kopi. Bermula dari penyuka kopi, Adjie membuka kedai kopi di Gang Warung itu dengan nama Yisan Coffee Shop
“Saya tetap patuh pada tradisi keluarga kok. Sebagai peracik kopi ya, bukan peracik obat,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi