Ia menambahkan, keterlibatan orang tua bagi anak-anak yang menjadi influencer atau kidfluencer juga penting, terutama bagi mereka yang masih di bawah usia minimal platform
Kata Paulus, aturan sertifikasi sebaiknya dijalankan bersama dengan edukasi masyarakat, agar kebebasan berpendapat tetap dijaga namun disertai kesadaran hukum.
“Ini kerja bersama, pemerintah bisa membuat standarnya, masyarakat juga harus mengembangkannya sendiri. Jangan sampai melanggar independensi masing-masing subjek,” pungkasnya.
Komdigi tengah kaji aturan baru, minta influencer sebarkan informasi yang bertanggung jawab
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI tengah mengkaji wacana kebijakan baru bagi influencer atau pemengaruh. Influencer di Indonesia rencananya akan diwajibkan memiliki sertifikat sebelum membuat konten tertentu di media sosial.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, menyebut pihaknya tengah melakukan pembahasan internal terkait kemungkinan Indonesia juga menerapkan kebijakan serupa.
“Informasi ini masih baru, kami masih kaji dulu memang. Kami ada grup WA (WhatsApp), kami lagi bahas ‘Gimana ini isu ini? Ada negara udah mengeluarkan kebijakan baru nih’, ini masih kami kaji,” ujar Wahyu, dikutip dari Antara, Selasa, 4 November 2025 lalu.
Wahyu menyebut Komdigi memantau kebijakan negara secara rutin sebagai referensi dalam menjaga ekosistem digital nasional. Sebelumnya, Komdigi mempelajari kebijakan Australia dalam pembatasan penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur.
Hasilnya, terbentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
BACA JUGA: Meita Irianty Influencer yang Terciduk Siksa Anak Daycare jadi Tersangka
Kali ini, Komdigi turut menyoroti aturan sertifikasi influencer. Menurut Wahyu, ide ini merupakan upaya untuk memastikan kompetensi dari para pembuat konten, terutama dalam menyajikan isu-isu sensitif dan krusial seperti isu kesehatan.
Influencer diharapkan dapat lebih bertanggung jawab ketika membuat konten tanpa mengurangi kebebasan berekspresi di ruang digital.
“Kita perlu menjaga, tapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang perlu, jangan sampai muncul tadi justru mereka yang membuat konten yang salah,” tuturnya.
Ia menegaskan hal itu masih sebatas ide. Pemerintah belum mengambil keputusan apakah kebijakan serupa perlu diterapkan di Indonesia. Ia menegaskan Komdigi membuka ruang dialog dan menerima masukan dari berbagai pihak terkait.
“Kita harus mendengar [masukan], kalau perlu [diterapkan], oke, tapi gimana? Seperti apa? Kan pasti ada leveling grade-nya. Seperti apa harus kita atur? Menyasar siapa saja? Karena sekarang yang jadi konten kreator banyak banget,” pungkas Wahyu. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













