Pada saat meraba tersebut kepekaan jari mengambil peranan penting. Menurut Basuki, tiap individu tunanetra memiliki tingkat kepekaan jari yang berbeda-beda, tergantung beberapa faktor. Bagi yang memiliki perabaan lemah, proses belajar membaca Al Quran Braille dapat memakan waktu hingga tiga bulan.
“Kalau tunanetra dari lahir itu kemungkinan besar lebih cepat bisa selama daya ingatnya bagus, karena jari-jarinya masih peka. Tapi untuk tunanetra baru atau yang kehilangan penglihatan saat dewasa itu kemampuan perabaannya sudah agak lemah,” lanjutnya.
Sahabat Mata juga Kembangkan Al Quran Digital
Selain Al Quran Braille, masih terdapat terobosan lain dari Sahabat Mata guna mendukung tunanetra dalam melaksanakan ibadah. Hal tersebut menurut Basuki karena tidak semua tunanetra bisa membaca braille.
“Tidak semua tunanetra bisa braille, entah faktor daya ingat, kemampuan, atau perabaan, dan itu tidak bisa kita paksa,” jelasnya.
BACA JUGA: Film “Tegar” Tebarkan Kasih Sayang dan Motivasi Mengejar Mimpi Penyandang Disabilitas
Menyadari kondisi tersebut, Basuki kemudian mengalihkan dengan menggunakan Al Quran digital dan Al Quran audio. Keduanya membantu tunanetra untuk tetap dekat dengan Al Quran, dengan cara mendengarkan lantunan ayat suci.
“Saya ingin, bagaimanapun kondisi tunanetra itu, mereka bisa tetap mengakses Al Quran, baik braille, digital, maupun audio saja,” lanjutnya.
Bahkan, Sahabat Mata kini telah memiliki printer khusus untuk mencetak Al Quran Braille. Hal tersebut merupakan bentuk fasilitas kepada teman-teman tunanetra agar dapat terus beribadah di tengah keterbatasan. (*)
Editor: Ricky Fitriyanto