Pemisahan Pemilu dan Pilkada membuat kekosongan pemimpin daerah
Putusan MK ini memungkinkan terjadinya kekosongan kursi kepala daerah beberapa tahun mendatang. Jika mengacu pada Pilkada serentak 2024 lalu, gubernur dan bupati/wali kota baru harusnya dipilih pada 2029.
Jika Pilkada berlangsung pada 2031 atau dua tahun setelah Pemilu berlangsung, maka akan terjadi kekosongan kursi eksekutif di tingkat daerah selama dua tahun tersebut.
Menanggapi kekosongan itu, Handi tak begitu banyak menjawab. Ia hanya menegaskan KPU berstatus sebagai pelaksana UU.
Kendati begitu, kata Handi, kekosongan kekuasaan itu bisa saja diampu sementara oleh PJ gubernur maupun PJ bupati/wali kota.
BACA JUGA: Pemilu Nasional-Daerah Terpisah, Bambang Pacul: Putusan MK Bersifat Ubah UU atau Langsung Berjalan
“Prinsip teknisnya bahwa jika ada kekosongan kekuasaan, terus kemudian ada kebijakan pemerintah seperti apa? Kalau gubernur dan bupati/wali kota kan seperti yang kemarin, kalau kosong ada PJ. Kalau DPRD seperti apa, itu tentu ada di pembentuk undang-undang ya,” pungkas Handi.
Kabar sebelumnya, Mahkamah Konsititusi (MK) memutuskan memisah penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden. Sementara Pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota serta kepala dan wakil kepala daerah.
MK dalam satu pertimbangan hukumnya menyatakan penyelenggaraan yang berdekatan antara pemilu nasional dan daerah/lokal menjadikan partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat sidang pengucapan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025 lalu, mengatakan kecenderungan itu terjadi karena parpol tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya berlaga pada setiap jenjang pemilu. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi