Oleh karenanya, memakai jarik dengan motif wahyu tumurun bisa menjadi doa dan pengharapan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Sebelumnya kami sudah mengenalkan jarik tanpa wiru, menggunakan teknik lilit. Tapi yang pakem juga kita harus ajarkan, menganut aturan Kraton jadi ada aturan nggak sembarangan,“ imbuhnya.
Ajarkan mewiru jarik hingga jadi ruang bagi komunitas kebudayaan dalam berkreasi
Lebih lanjut, Maya menyebut jika Komunitas Diajeng Semarang telah rutin tiap bulannya berpartisipasi dalam acara Pasar Senggol Grand Candi Hotel.
Menurutnya, esensi Pasar Senggol sejalan dengan visi misi komunitas tersebut. Yakni, melestarikan tradisi dan kebudayaan, tak terkecuali berkebaya dan berjarik.
“Pasar Senggol identik dengan pasar yang mengakomodir geliat rakyat pada umumnya, Komunitas Diajeng adalah komunitas yang juga berangkat dari kerakyatan, yaitu kearifan lokal,” ucapnya.
BACA JUGA: Branding Diri ‘Mbak Yu Berkebaya’, Alifia Populerkan Kebaya ke Generasi Muda Lewat TikTok
Ia pun memandang bahwa adakalanya bisnis perhotelan yang erat dengan pariwisata sudah seharusnya melirik komunitas-komunitas yang mengangkat kearifan lokal. Sebab, hal tersebut bisa menjadi nilai lebih pada kehidupan yang semakin mendunia.
Ia pun berharap, banyak hotel yang kemudian memberi ruang untuk komunitas kebudayaan di sekitarnya. Baik dalam hal penampilan maupun berkreasi.
“Harapan saya semua hotel meniru Grand Candi Hotel, artinya hotel mendukung kami dalam pergerakan kebudayaan, sesuatu yang baik dan adiluhung,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi