Ia membeberkan, status pacar menempati urutan pertama relasi antara korban dengan pelaku. Setelahnya berturut-turut adalah berstatus teman, orang asing, tidak di ketahui, tetangga, atasan, ayah kandung, guru, hingga kyai.
Lemahnya implementasi UU No 12 Tahun 2022 Tentang TPKS
Dari 90 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pihaknya dampingi, kata Nia, hanya ada 22 kasus yang menempuh proses hukum. Sementara 22 kasus tersebut meliputi 16 kasus menempuh proses hukum pidana dan 6 kasus menempuh proses hukum perdata.
“Tantangan penegakkan hukum antaranya masih adanya kasus kekerasan seksual yang didamaikan oleh kepolisian. Selain itu masih adanya stigma dan diskriminasi oleh penyidik di kepolisian. Hingga mudahnya menyimpulkan bahwa korban dan pelaku berpacaran. Maka tidak bisa dikatakan kekerasan lantaran hubungannya pasti suka sama suka,” imbuhnya.
Sementara untuk implementasi UU No 12 Tahun 2022 tentang TPKS, hingga saat ini hanya ada 1 kasus yang menggunakan UU tersebut yang mana sampai saat ini masih proses penyelidikan. Nia pun tak menampik masih adanya stigma dan diskriminasi dari aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan di kepolisian.
Dalam akhir paparannya, Nia merekomendasikan beberapa langkah yang bisa negara lakukan untuk memperbaiki penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2024 mendatang.
Antaranya mensosialisasikan UU TPKS secara masif di seluruh wilayah di Jateng, memperkuat kebijakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang terintegrasi dalam semua urusan pemerintahan, hingga memperkuat sistem peradilan pidana terpadu dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.(*)
Editor: Farah Nazila