SEMARANG, beritajateng.tv – Sejumlah aparat penegak hukum masih menolak penggunaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal tersebut terungkap oleh Legal Resource Center-Keadilan untuk Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) saat memaparkan
Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Rohmah, menyebut implementasi UU TPKS merupakan tantangan berat yang pihaknya hadapi dalam mendampingi korban kekerasan. Pasalnya, masih banyak aparat penegak hukum yang tak memahami UU TPKS.
“Ada satu kasus yang korbannya laporin kasus kekerasan seksual menggunakan UU TPKS tapi ada oknum penyidik yang enggak paham UU TPKS,” katanya kepada beritajateng.tv usai Launching Catatan Akhir Tahun, Rabu, 24 Juli 2024.
Lantaran mandek lama di tahap penyidikan, lanjut Nihayatul, korban bahkan sampai mencabut laporannya. Ia khawatir, pencabutan laporan terjadi karena adanya intervensi dari pihak penyidik
Tak hanya karena kurangnya pemahaman aparat penegak, tantangan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual tak jarang juga berasal dari stigma sang aparat penegak hukum itu sendiri.
BACA JUGA: Apa Kabar Penanganan Kekerasan Seksual Pasca 1 Tahun Pengesahan UU TPKS? Ini Kata LRC-KJHAM
Ia menceritakan, terdapat satu penyidik kepolisian di Jawa Tengah yang dimutasi karena kedapatan menstigma korban.
“Kalau dari analisa kami, polisi melihatnya kalau suka sama suka bukan kasus kekerasan seksual. Nah, perseptif tersebut akan berpengaruh dengan penerapan pasal,” ungkapnya.
Sebetulnya, tak hanya kepolisian, Nihayatul juga menemukan bahwa aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim masih sering memberikan stigma negatif kepada korban kekerasan seksual.