Sehingga, ia menekankan jika pembenahan di lembaga penegak hukum masih sangat diperlukan. Apalagi, implementasi UU TPKS masih jauh dari harapan. Artinya, hak-hak korban belum dapat terpenuhi dengan maksimal.
Konsep consent dalam kekerasan seksual
Lebih lanjut, Nihayatul menyadari jika konsep kekerasan seksual masih abu-abu. Terkadang korban merasa bimbang apakah hal itu termasuk kekerasan atau tidak.
Padahal, lanjutnya, pengertian kekerasan sudah cukup jelas. Semisal tidak memberikan consent atau persetujuan, maka itulah kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual itu ketika ada aktivitas seksual yang dilakukan oleh lawan jenis dan itu tanpa consent. Misal karena ada paksaan, bujuk rayu, dan janji-janji,” jelasnya.
BACA JUGA: LRC-KJHAM Dampingi 90 Kasus Sepanjang 2023, Paling Banyak Kekerasan Seksual
Nihayatul menekankan, dalam suatu hubungan asmara sekalipun, kekerasan seksual bisa saja terjadi, misalnya dalam kasus yang sedang ia dampingi.
Korban terpaksa melakukan aktivitas seksual karena pelaku memberikan janji dan komitmen untuk menikahi korban. Saat korban menolak, pelaku menggunakan relasi kuasanya kepada korban.
“Ketika consent maka tidak perlu ada janji, bujuk rayu, jaminan komitmen dan sebagainya. Perempuan mau melakukan hubungan seksual tanpa paksaan baru itu bukan kekerasan seksual,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi