Sementara pengerjaan satu orangnya, Oktar membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk motif yang sederhana. Sedangkan untuk motif rumit bisa mencapai 12 jam lamanya.
Sipatiti Ink: Tato masih belum jadi kebutuhan seperti kultur luar negeri
Demi membangun Sipatiti Ink, Oktar sebenarnya pernah melanglang buana ke Bali hingga Australia. Di sana, ia belajar banyak tentang seni merajah kulit.
Ia pun menyadari adanya perbedaan yang cukup besar antara kultur pengguna tato di Indonesia dengan warga negara asing atau di luar negeri.
“Di luar negeri, tato itu kayak kebutuhan pokok. Keluar masuk studio itu kayak lihat keluar masuk Indomaret, kalau di Indonesia saya lihat masih gaya hidup ya,” ucapnya.
BACA JUGA: Mencoba Tato Temporer, Seni Rajah Tubuh Estetik tapi Tetap Halal
Meski begitu, ia sedikit bersyukur bahwa tato mulai menjadi hal biasa di masyarakat Indonesia. Hal itu tak lepas dari peran seniman tato yang memang sering mengadakan event perlombaan tato.
Kendati belum jadi kebutuhan, namun Oktar yakin usaha tato di Semarang bakal bertahan, bahkan menjamur. Apalagi, semakin banyak orang yang menganggap tato sebagai seni dalam mengekspresikan diri.
“Kalau persaingan itu relatif, yang penting saya mempertahankan kualitas. Pelanggan makin banyak sekarang,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi