Pasalnya, beberapa pengusaha dan perusahaan turut mengeluhkan adanya seruan boikot produk pro Israel telah berdampak terhadap omzet, bahkan memicu PHK. Menanggapi hal tersebut, Frans mengungkapkan jika gerakan boikot di Jawa Tengah belum sampai pada tahap memicu PHK karyawan.
“Saya pikir tidak sampai PHK, tapi memang PHK itu normal-normal saja di pekerjaan, tapi kalau karena dampaknya boikot produk pro-Israel ini saya pikir tidak sampai PHK,” tegasnya.
Pertumbuhan ekonomi dunia loyo, termasuk Amerika dan Eropa
Alih-alih karena gerakan boikot, Frans menyebut jika PHK marak terjadi karena pertumbuhan ekonomi dunia saat ini sedang melemah. Selain itu, daya beli masyarakat saat momentum akhir tahun dan juga menjelang Pemilu 2024 sedang menurun.
“Memang daya beli masyarakat agak menurun, luar negeri juga begitu terutama Amerika dan Eropa, keadaan ekonomi mereka juga tidak baik. Itu yang menyebabkan ekspor kita menurun,” jelasnya.
Frans menyebut, garmen dan tekstil adalah dua industri yang paling terdampak dari lemahnya pertumbuhan ekonomi dunia. Apalagi sebelumnya garmen dan tekstil sangat bergantung pada pasar ekspor.
Saat ini, kata Frans, jumlah ekspor produk dalam negeri telah menurun drastis. Hal tersebutlah yang menjadi ancaman PHK bagi para karyawan.
“Sekarang ada karyawan dirumahkan, di-PHK, dan itu bukan semata karena boikot produk pro-Israel, tapi karena dampak ekspor kita ke Amerika sedang menurun,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi