Scroll Untuk Baca Artikel
FeatureHeadline

Menelusuri Jejak Penganut Theosofi di Kota Semarang, Aliran Filsafat yang Sering Disangka Agama

×

Menelusuri Jejak Penganut Theosofi di Kota Semarang, Aliran Filsafat yang Sering Disangka Agama

Sebarkan artikel ini
Theosofi Semarang
Para penganut Theosofi di Semarang berfoto di Sanggar Theosofi Wijayakusuma. (Made Dinda Yadnya Swari/beritajateng.tv)

“Afirmasi itu tujuannya lebih mengingatkan kita. Ingat bahwa intinya kita satu dengan semua. Hidup tersembunyi yang bergetar dalam setiap atom,” ucap Yohana.

“(Sambil menunjuk seisi benda di ruangan) Kalau ini kelihatan semuanya hidup, yang artinya kita ini kumpulan-kumpulan atom. Afirmasi itu menyadarkan kita, mengafirmasi kepada diri kita, dan memberikan sugesti sadar,” imbuhnya.

Tak berdiri sebagai sebuah agama, Yohana menekankan Theosofi sebagai aliran filsafat yang berbasis pada sains dan penalaran. Menurutnya kegiatan anggota Theosofi lebih tepat mendapat sebutan diskusi. Bukan ibadah layaknya seorang penganut agama lakukan.

Anggota Theosofi di Semarang berasal dari berbagai agama

Adapun anggota Theosofi di Kota Semarang berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda. Yohana menyebut, inti dari Theosofi adalah persaudaraan universal tanpa membedakan suku, ras, agama, maupun warna kulit.

“Theosofi itu inti sesungguhnya persaudaraan universal tanpa membedakan SARA. Kedua, studi mendalam terkait persamaan religi, filsafat dan sains. Ketiga mempelajari hukum hukum tersembunyi yang belum dapat terjelaskan oleh alam,” ucapnya.

Terkait tentang hukum tersembunyi, Yohana mengambil contoh konsep karma yang baginya belum dapat secara jelas terjawab oleh alam semesta.

“Hukum tersembunyi itu misal tentang hukum karma. Itu kan masih tersembunyi ya. Ada karma masa lalu, ada karma masa kini. Apa yang kita tuai itu kan kita tidak tahu. Atau sifatnya tersembunyi,” tuturnya.

Sanggar Wijayakusuma sebagai rumah berkumpulnya anggota Perwathani terbuka bagi anggota baru yang hendak bergabung. Adapun syarat utamanya yakni berusia minimal 19 tahun. Kemudian, bersedia mengikuti pertemuan rutin minimal 10 kali di Sanggar menjadi syarat selanjutnya.

“Minimal 19 tahun karena sudah bisa tergerak atas pemahaman sendiri, nalarnya sudah bergerak sendiri lah istilahnya. Terus syarat lain bisa mengikuti pertemuan minimal 10 kali, datang langsung ke sanggar ini,” pungkas Yohana. (*)

Editor: Ricky Fitriyanto

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan