Kariernya di dunia kesehatan itu berlanjut saat Dokter Kariadi mendapati tugas untuk mengabdi di Manokwari, untuk membantu mengobati penyakit malaria yang kasusnya melonjak tinggi di sana.
Setelah menikah dengan Soenarti, seorang dokter gigi, kariyaannya dilanjutkan di Martapura, Kalimantan, pada masa ketika malaria dan penyakit kaki gajah tengah melanda daerah tersebut.
Pada waktu itu, para dokter sering kali terancam oleh tentara Jepang yang mencari orang-orang intelektual, sehingga Kariadi memilih mengungsi kembali ke Malang.
Setelah itu, Kariadi mendapat kesempatan untuk menjabat sebagai kepala laboratorium di Rumah Sakit Umum Purusara di Semarang.
Kariadi dan Pertempuran 5 Hari Semarang
Suatu hari, Dokter Kariadi yang di kala itu menjabat sebagai kepala laboratorium di Rumah Sakit Umum Purusara di Semarang medapati telepon dari pimpinan soal isu sumber air terkontaminasi.
BACA JUGA: Peringatan Pertempuran 5 Hari di Semarang Hingga Senin 14 Oktober, Ini Daftar Pengalihan Jalannya
Saat itu suasana kota Semarang sangat mencekam, karena tentara Jepang bersiaga dan banyak melakukan serangan di beberapa titik, termasuk di sepanjang jalan menuju Reservoir Siranda. Namun keadaan tersebut sama sekali tidak menggoyahkan niat dokter Kariadi, yang menilai bahwa nyawa ribuan warga Semarang tengah dipertaruhkan.
Sayangnya, tentara Jepang kembali menjegal usaha dokter Kariadi. Pasukan bersenjata itu membunuh dr. Kariadi dan seorang Tentara Pelajar yang tengah bersamanya.
Gugurnya Dokter Kariadi memicu kemarahan rakyat yang memang sedang terlibat konflik hebat dengan pasukan Jepang. Saat itulah pecah pertempuran 5 hari di Semarang, yang memakan korban sebanyak 2000 orang. (*)