“Kita menganggap penting. Jangan sampai kita itu setelah konflik baru bereaksi. Dalam konteksnya itu pertama pencegahan. Atau pendeteksian dini terhadap kondisi sosial di masyarakat,” ujarnya.
Raperda untuk tangani sebelum, saat, dan pascakonflik
Kemudian, menurut Soleh, Raperda itu juga akan menangani saat konflik itu telah terjadi. Adapun dalam penanganan ini, mitigasi hingga proses mediasi masuk ke dalamnya. Setelah itu, poin ketiga yakni pascakonflik yang juga tak kalah penting.
“Pascakonflik kan juga penting. Kalau misal harus ada pengungsian, trauma, dan sebagainya, kan itu pascakonflik. Tentu Raperda penanganan konflik sosial kita anggap penting, kita tidak bisa mengatakan Jawa Tengah ini adem-adem saja,” tegasnya.
Stigma masyarakatnya yang ‘adem ayem’ tak lantas membuat konflik nihil terjadi di Jateng. Soleh menuturkan masalah pembangunan sebagai contoh nyata pemicu konflik sosial di masyarakat. Lebih lanjut, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) baginya juga dapat menimbulkan konflik di masyarakat.
“Misalnya kemarin di Purworejo masalah waduk. Artinya proses pembangunan bisa jadi konflik sosial. Atau misalnya Pilkades, dampak Pilkades di mana-mana kan ada konflik pendukung antara yang kalah dan menang,” bebernya.
Pertikaian antarsuporter sepak bola juga menjadi konflik sosial yang harus jelas regulasi hukumnya. Ia menilai, perkelahian ini tak boleh terbiarkan terus-menerus hingga menimbulkan perpecahan di masyarakat.
“Terus suporter sepak bola, seperti Surabaya dan Semarang. Kalau kita ada Raperda ini, kita bisa mencegah, menangani, dan pasca itu terjadi. Itu urgensinya. Secara yuridis pun sudah jelas,” pungkas Sholeh. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi