Jateng

Pakar: ‘Skandal Smanse’ Ungkap Lemahnya Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual Digital di Indonesia

×

Pakar: ‘Skandal Smanse’ Ungkap Lemahnya Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual Digital di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Foto Fotoyu
Pakar Komunikasi Digital Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Paulus Angre Edvra, saat dijumpai di kantornya, Senin, 3 November 2025. (Made Dinda Yadnya Swari/beritajateng.tv)

SEMARANG, beritajateng.tv – Kasus rekayasa foto cabul yang melibatkan ratusan siswi SMA Negeri 11 Semarang oleh Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip), Chiko Radityatama Agung Putra, menjadi sinyal lemahnya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual digital di Indonesia.

Pakar Komunikasi Digital Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Paulus Angre Edvra, menyebut, kasus yang menyeret Chiko sebagai pelaku itu memperlihatkan dua hal, yakni belum siapnya regulasi Indonesia terhadap kejahatan seksual berbasis teknologi dan rendahnya etika digital generasi muda.

“Setahu saya, terkait dengan kekerasan seksual itu masih masuknya delik aduan. Artinya, mereka [korban] harus mengadu dulu, melaporkan masalahnya dulu. Bukan statusnya sebagai delik umum seperti pembunuhan,” ujar Edvra saat beritajateng.tv jumpai di kantornya, Senin, 3 November 2025.

Menurutnya, selama pelecehan digital masih tergolong delik aduan, aparat penegak hukum tak bisa langsung memproses kasus tanpa laporan dari korban. Kondisi ini, ujarnya, berpotensi membuat pelaku lepas dari jerat hukum ketika korban takut bicara.

“Status delik aduan dari kekerasan seksual itu memang harus menunggu laporan dari korban,” tegasnya.

Edvra menilai hambatan terbesar penanganan kasus semacam ini justru datang dari sisi sosial dan budaya. Di Indonesia, kata dia, korban kekerasan seksual masih sering dibungkam oleh rasa malu, tekanan keluarga, dan stigma masyarakat.

“Tidak akan [berkurang kasusnya], ini seperti gunung es. Sementara di Amerika Serikat laporannya sudah sangat banyak dan mereka bisa secara proaktif menanggapi kasus tersebut,” ujarnya.

BACA JUGA: Kasus Chiko Skandal SMANSE Naik Penyidikan, Polda Jateng Benarkan Kedua Ortunya Polisi: Perwira dan Bintara Tinggi

Ia menilai, banyak korban kekerasan seksual di Indonesia enggan melapor karena takut menjadi bahan gunjingan tetangga atau dianggap mencoreng nama keluarga. Padahal, lanjutnya, pelaku justru telah lebih dulu melanggar norma kesantunan dan kesopanan.

“Kenapa kita harus mempertimbangkan rasa malu, sementara pelakunya sendiri tidak sopan dan tidak beretika? Laporkan saja. Pihak berwenang punya langkah-langkahnya untuk merespons kasus seperti ini,” tegas Edvra.

Sekolah, dalam hal ini SMAN 11 Semarang, Chiko sebut tak serta-merta dapat dijadikan pihak yang bertanggung jawab apabila foto-foto itu bukan hasil dokumentasi resmi lembaga.

“Kalau sekolah tidak andil apa-apa, sekolah tidak bisa menjadi subjek hukum yang terlibat juga,” jelasnya.

Lebih jauh, Edvra menyoroti ironi bahwa pelaku justru mahasiswa fakultas hukum dan anak dari aparat penegak hukum. Menurutnya, hal itu memperlihatkan bahwa pemahaman literasi digital belum otomatis sejalan dengan etika digital.

“Kalau kita bicara literasi, itu bagaimana menggunakan informasi dan menyebarkannya secara baik, benar, dan tepat. Sehingga bisa dikatakan kemampuan literasi si pelaku ini kurang. Literasi itu tidak hanya menggunakan teknologi, tapi menggunakan dengan baik, tepat, dan benar,” tegasnya.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan