Scroll Untuk Baca Artikel
Catatan Editor

Perkara Galat Bahasa, ‘Kita’ yang Kerap Kali Disalahartikan ‘Kami’

×

Perkara Galat Bahasa, ‘Kita’ yang Kerap Kali Disalahartikan ‘Kami’

Sebarkan artikel ini
Di Buku | Gambar AI | Frankenstein | Semarang Tertinggal | Kita Kami | 2024 PPDB | Sato Reang
Mu'ammar Qadafi. (Foto: Dok. Pribadi)

BEKERJA sebagai editor berita membuat saya meyakini bahwa saat ini, bahkan entah sampai kapan lagi, masih banyak orang yang keliru berbahasa. Bukan, bukan rekan jurnalis yang tak tepat berbahasa, melainkan sebagian besar orang yang mereka wawancarai. Perkara yang jamak terjadi, orang-orang tersebut kerap menyalahartikan “kita” sebagai “kami”.

Makin hari salah kaprah pemakaian ”kita” sebagai kata ganti orang pertama jamak semakin membikin prihatin. Sebab, hal ini pun terkadang terjadi dalam gelaran acara formal, atau, seorang pejabat yang tak segan-segan mempergunakannya.

Ambil contoh, sewaktu memberi keterangan kepada wartawan, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Siti Farida, menuturkan, “Maka untuk pasca-PPDB nanti kita akan pastikan bahwa jumlah yang diterima, termasuk siswa yang diterima, itu sama persis yang dilakukan seleksi sekarang. Kita melakukan pengawasan, pencocokan, dan kalau memang ada temuan kita sampaikan.”

Tiga kali ia berturut-turut mempergunakan kata ganti “kita” yang konteksnya keliru.

Padahal, yang bersangkutan berbicara kepada jurnalis, seorang saja, yang menghubunginya secara langsung. Artinya, komunikasi one-by-one. Sehingga ”kita” dalam ucapan itu Siti Farida artikan yang ia ajak bicara, yakni jurnalis tersebut, terlibat dalam upaya pengawasan dan lain sebagainya. Sementara si jurnalis tak turut pengawasan dan lain sebagainya itu, karena tak mempunyai kapasitas dan wewenang untuk melakukannya.

Dalam ucapannya, ia semestinya mempergunakan kata ganti orang pertama jamak “kami”, yang merujuk ke pihak Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, karena tak melibatkan orang yang ia ajak bicara, yaitu si jurnalis.

Namun, kasus itu masih mending, sebab dalam beberapa pernyataan Siti Farida yang berikutnya ia mempergunakan “kami” dengan benar, tepat sesuai konteks. Ia hanya satu dari sekian orang yang mengalami galat bahasa. Yang lain? jumlahnya bisa melebihi hitungan jari. Bahkan seorang Presiden pun tak luput mengalami hal yang sama.

BACA JUGA: Menyaksikan Ontran-ontran Program Sastra Masuk Kurikulum di Tepi Gelanggang Polemik

“Kita” atau “kami”, siapa yang anda maksud?

Sebetulnya, yang membuatnya makin runyam ialah semakin galibnya penggunaan “kita” yang keliru ini dalam masyarakat umum. Coba hitung seberapa banyak varian ucapan “Hello, guys, hari ini kita bla-bla-bla …”. Di internet, kalimat tersebut seolah menjadi template, walau penggunaannya terkadang masih kurang tepat.

Seorang food vlogger akan berkata, “Hello, guys, hari ini kita akan mencicipi seblak bulu-babi ekstra pedas, lho!” Ditambah, saat hendak mengudap penganan tersebut, ia bakal berujar, “Mari kita coba!”

Faktanya, ia memakan seblak bulu-babi ekstra pedas—memang ada?—itu seorang diri, sedangkan para pemirsanya hanya domblong di hadapan layar gawai masing-masing, boleh jadi sembari sesekali mengelus perutnya yang keroncongan. Sebagian besar pemirsa tak termasuk dalam “kita” tersebut, sebab belum tentu di hadapannya ada kudapan yang sama dengan yang si food vlogger makan.

Lain soal jika sang food vlogger membawa serta kawannya untuk turut menikmati hidangan seblak itu. Namun, jika ia tetap melontarkan kata “kita” ke hadapan pemirsa alih-alih kawannya sendiri, maka hal itu tetaplah keliru. Sebab, lagi-lagi pemirsa tak ikutan makan. Duh!

BACA JUGA: Kalimat Basa-basi Menjadi Budaya Berbahasa di Indonesia

Mengapa orang suka bilang “kita”?

Kekeliruan semacam itulah yang lambat laun membuat makna kata ganti “kita” seolah bergeser menjadi “kami”, atau bahkan “saya”. Ada beberapa dugaan mengapa orang-orang lebih memilih mengucap “kita” ketimbang “kami”, salah satunya “agar tak terdengar formal”. Dugaan lain, mereka seakan ingin mengajak orang yang ia tuturi “kita” untuk menjadi bagian dari pihaknya, bagian dari penikmat seblak bulu-babi ekstra pedas.

Sayangnya, kata ganti “kita” tak berfungsi layaknya pronomina “us” atau “our” atau “we” dalam bahasa Inggris. Sebab, ketiga pronomina itu bisa berarti “kita” maupun “kami”, tergantung konteks. Sementara dalam bahasa Indonesia, “kita” dan “kami” betul-betul berdiri sendiri-sendiri, tak bisa saling menggantikan.

Sesungguhnya mudah saja membedakan kapan mesti bilang “kita” atau “kami”. Saat hendak mengucap “kita”, berarti orang yang anda ajak bicara terlibat dalam apa yang anda maksud, sedangkan ”kami” tidak melibatkan orang yang anda ajak bicara.

Lantaran kekeliruan “kita” paling sering terjadi, barangkali anda bisa juga begini. Bayangkan ketika anda bilang “kita”, orang yang anda ajak bicara sekonyong-konyong menyergah dengan frasa yang sempat populer pada tahun dua-ribu-belasan: “Kita? Lo aja kali, gue enggak!”

Dengan kata lain, pikirkanlah selalu pertanyaan “Dia termasuk yang kumaksud gak, ya?” sewaktu anda hendak melontarkan kata “kita”. Begitu. (*)

Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv
Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan