SEMARANG, beritajateng.tv – Belum lama ini, Badan Gizi Nasional (BGN) berencana untuk memasukkan tenaga pendidik dan kependidikan non-ASN sebagai penerima Makan Bergizi Gratis.
Sebelumnya, Direktur Sistem Pemenuhan Gizi BGN, Enny Indarti, menyebut alasan pemberian MBG bagi tenaga kependidikan non-PNS adalah karena mereka berperan membantu distribusi makanan kepada siswa selaku penerima manfaat utama.
Menanggapi itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah, Muhdi, angkat bicara.
Muhdi mempertanyakan rencana tersebut karena mulai tahun depan tenaga non-ASN di sekolah negeri sudah tidak ada.
“Sebenarnya kita inginkan kalau ini bagian dari edukasi, seluruh guru dan tenaga kependidikan dapat ya. Jadi mereka bisa makan bersama siswa dan memastikan makanan yang disajikan layak atau tidak,” ujar Muhdi via WhatsApp, Jumat, 7 November 2025.
Namun, menurutnya, kebijakan tersebut bisa tidak tepat sasaran bila yang BGN maksud adalah guru non-ASN di sekolah negeri. Sebab, mulai tahun 2026, tak ada lagi guru non-ASN di sekolah negeri.
“Non-ASN di sekolah negeri nanti sudah tidak ada, kan berarti tidak tepat sasaran ya. Sekarang yang dimaksud itu apa? Sekolah swasta saja sudah jelas. Kalau non-ASN itu adanya di sekolah swasta,” katanya.
BACA JUGA: Dampingi Wapres Gibran Tinjau MBG di Salatiga, Ahmad Luthfi: Pastikan Program Tepat Sasaran
Muhdi menegaskan, bila yang BGN maksud adalah guru dan tenaga kependidikan di sekolah swasta, pihaknya mendukung penuh kebijakan tersebut.
“Kalau non-PNS tapi yang BGN maksud sekolah swasta, ya kita setuju. Tapi kalau non-ASN di sekolah negeri, nanti malah salah sasaran,” tegasnya.
Muhdi sebut distribusi dapur MBG belum tepat sasaran, justru banyak di kota
Selain soal sasaran penerima, Muhdi juga menyoroti pola penyaluran MBG yang selama ini tidak merata.
Ia menilai dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) cenderung memilih sekolah-sekolah besar di kota karena anggapan lebih efisien secara jumlah.
“Sekarang ini sekolah-sekolah kota yang justru dapat lebih awal. Sementara sekolah-sekolah pinggiran yang siswanya sangat membutuhkan malah belum dapat akses,” jelasnya.
Menurutnya, penyebab utama ketimpangan distribusi itu adalah karena banyak dapur MBG memilih sekolah dengan jumlah siswa besar, agar proses penyaluran lebih praktis dan tidak perlu menjangkau terlalu banyak lokasi kecil.













