Nasional

Representasi Perempuan dalam Politik Minim, Jurnalis Asal India Dorong Jurnalisme Peka Gender

×

Representasi Perempuan dalam Politik Minim, Jurnalis Asal India Dorong Jurnalisme Peka Gender

Sebarkan artikel ini
Representasi perempuan
Jurnalis Financial Times Ignites Asia, Amy Sood, dalam sesi Voices of Tomorrow: Where Young Journalists Meet Editorial Wisdom yang digelar daring pada Sabtu, 6 September 2025 lalu. (YouTube/India News Desk)

SEMARANG, beritajateng.tv – Representasi perempuan dalam politik tak bisa dilihat semata dari kuota 30 persen yang menjadi syarat bagi sebuah partai berlaga dalam Pemilu. Lebih jauh, bagaimana isu perempuan diberitakan juga turut menentukan sejauh mana suara mereka mendapat tempat di ruang publik.

Pesan itu disampaikan Amy Sood, jurnalis Financial Times Ignites Asia, dalam sesi Voices of Tomorrow: Where Young Journalists Meet Editorial Wisdom yang digelar daring pada Sabtu, 6 September 2025 lalu.

Mengambil tema gender reporting, Amy menekankan pemberitaan yang peka terhadap gender merupakan pintu masuk untuk menghadirkan narasi yang lebih inklusif.

“Kami ingin bisa memperkuat suara-suara yang terpinggirkan lewat penceritaan kami, lewat liputan kami. Kami ingin memastikan bahwa perempuan dan individu gender beragam terwakili dalam media dan ruang pengambilan keputusan,” ungkap Amy.

Ia menyebut, media memiliki kekuatan dalam membentuk wacana publik perihal peran gender dan hak asasi manusia (HAM).

“Liputan kita bisa memengaruhi bagaimana masyarakat melihat peran gender, bagaimana melihat isu-isu HAM. Sebab membawa persoalan ini ke permukaan juga memaksa para pembuat kebijakan untuk memperhatikan,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Amy mencontohkan pengalamannya saat meliput Pemilu Malaysia tahun 2022 untuk South China Morning Post. Saat itu, sejumlah partai politik menyatakan komitmen untuk mengusung 30 persen kandidat perempuan. Namun kenyataannya, hanya sekitar 13,5 persen dari lebih dari 1.300 kandidat yang perempuan.

“Itu adalah cerita tentang representasi perempuan di politik. Kami melihat, meskipun perempuan adalah lebih dari separuh pemilih terdaftar di negara tersebut, mereka hanya menyumbang kurang dari 15 persen kandidat dan kemudian juga anggota parlemen,” ucap Amy.

Kondisi itu, menurut Amy, menunjukkan bagaimana perempuan sering kali hadir dalam jumlah besar sebagai pemilih, tetapi terpinggirkan dalam posisi pengambil kebijakan.

Situasi serupa tak asing di Indonesia. Meski Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mewajibkan parpol mengajukan minimal 30 persen bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan, jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif masih jauh di bawah angka tersebut.

Pengamat Undip menilai keterwakilan perempuan dalam politik tak lepas dari privilese

Pengamat politik Universitas Diponegoro, Puji Astuti, menilai masalah keterwakilan perempuan di Indonesia juga dipengaruhi oleh privilese politik kekerabatan.

“Hampir semua perempuan yang masuk di Pilkada, baik itu cabup atau cawabup pasti dapat karpet merah dari orang tua, suami, atau saudara laki-laki yang punya pengaruh dalam politik,” kata Puji saat beritajateng.tv temui di kantornya, belum lama ini.

Puji mencontohkan Estianah, Bupati Demak yang kembali maju di Pilbup 2024, yang menurutnya bisa meniti karier politik berkat pengaruh ayahnya.

“Sedikit sekali yang memang tidak punya latar belakang seperti itu. Memang ada politik kekerabatan,” tambahnya.

Tak hanya dalam perhelatan Pilkada 2024, minimya partisipasi perempuan dalam politik juga Puji soroti dalam Pileg 2024 lalu.

Meskipun, kata dia, syarat 30 persen pencalonan untuk perempuan sudah berlangsung berkali-kali dalam Pileg, namun tetap saja kursi legislatif untuk perempuan yang terpilih masih kurang dari 30 persen.

Menurutnya, biaya politik yang mahal untuk maju sebagai anggota legislatif menjadi salah satu alasan mengapa perempuan sulit untuk mendapatkan kursi.

“30 persen itu jauh sekali, masih sulit, karena apa? Mahal. Kemarin paling kecil butuh Rp5 Miliar untuk di pusat [DPR RI]. Kalau sebagai calon, partisipasi perempuan memang sudah 37,7 persen, tapi terpilihnya baru sekitar 22,24 persen atau 129 dari 580. Itu masih jauh, padahal kita sudah lima kali Pemilu,” tutur Puji.

Legislator Jateng sebut keterlibatan perempuan dalam politik bawa perspektif baru dalam kebijakan politik

Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah yang juga merupakan politisi perempuan, Kadarwati, mengingatkan agar partai politik tidak hanya menaruh perempuan di “nomor sepatu” atau nomor terakhir dalam surat suara.

Meskipun sudah teratur dalam Undang-Undang (UU), tak sedikit parpol yang mencalonkan perempuan hanya sebagai formalitas.

“Makanya harus maksimalkan kuota 30 persen itu, agar perempuan tidak mendapat nomor belakang. Harapan saya, perempuan bisa ditaruh pada nomor 1, bisa juga 4. Tidak dapat nomor 6 terus,” ujar Kadarwati.

Tak lupa, ia menyampaikan harapannya agar seluruh parpol dapat menempatkan kader-kader perempuan sesuai dengan kapabilitasnya.

“Saya harap masing-masing partai menempatkan kader-kader perempuan itu pada nomor yang cantik sesuai dengan kapabilitasnya,” tutur dia.

Pihaknya juga menilai keterlibatan perempuan membawa perspektif berbeda dalam penyusunan kebijakan politik. Sebab, dalam hematnya, yang mengerti kebutuhan perempuan hanya perempuan itu sendiri.

“Tentunya sangat penting bagi perempuan untuk terjun ke politik, karena kebutuhan perempuan ya perempuan sendirilah yang tahu daripada yang lain. Dalam pengambilan keputusan, perempuan juga lebih teliti, memang banyak pertimbangan, tapi akan lebih berani,” tegas Kadarwati.

Pemberitaan “peka gender” penting agar suara perempuan tak tenggelam

Dalam konteks tersebut, Amy mengingatkan pentingnya jurnalisme peka gender di Indonesia. Menurutnya, cara media membingkai isu menentukan apakah perempuan dipandang hanya sebagai korban atau sebagai agen perubahan.

“Penting sekali menulis tentang tantangan yang perempuan hadapi, tapi kita tidak selalu ingin menjadikan mereka hanya sebagai korban. Kita juga ingin menampilkan perempuan yang mampu menembus batas tradisional dan menemukan keberhasilan,” ujar Amy.

Amy turut mendorong jurnalis untuk mampu mengintegrasikan perspektif gender ke dalam berbagai bidang liputan, baik politik, ekonomi, iklim, kesehatan, teknologi, hingga konflik.

“Misalnya di ekonomi kita bisa menulis tentang kesenjangan upah atau inklusi keuangan. Di iklim, kita bisa menyoroti peran perempuan dalam adaptasi dan aktivisme lingkungan,” jelasnya.

Tak kalah penting, Amy mengingatkan soal keragaman sumber berita. “Sangat penting memastikan kita juga menghubungi pakar perempuan, terutama di bidang-bidang yang mayoritas laki-laki. Itu bisa memperkaya cerita dan memberi perspektif yang mungkin tidak pernah kita pertimbangkan,” ujarnya.

Pesan Amy tak lepas dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Saat kuota 30 persen belum sepenuhnya terwujud dan politik kekerabatan masih mengemuka, pemberitaan yang peka gender menjadi salah satu kunci agar suara perempuan tak tenggelam.

“Pada akhirnya, yang penting bagi jurnalis muda adalah membaca banyak sekali liputan dari berbagai belahan dunia. Itu sumber inspirasi sekaligus pelajaran tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” pungkas Amy. (*)

Editor: Mu’ammar R. Qadafi

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan