“Akulturasi budaya ini adalah bagian dari kekuatan Kota Semarang, baik dalam sektor pariwisata maupun aspek lainnya. Harapannya, akulturasi budaya ini dapat menjadi semangat untuk menjaga toleransi di kota ini,” ungkapnya.
Ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Haryanto Halim, menjelaskan bahwa tradisi ini dicoba diangkat ke jalan sebagai upaya untuk mewujudkan keharmonisan dan kerukunan antarumat beragama. Warga sekitar, tokoh agama, dan tokoh masyarakat pihaknya ajak untuk duduk dan makan bersama sebagai bentuk penyambutan Imlek.
“Tradisi ini biasanya orang Tionghoa lakukan di rumah orang tua terdekat. Karena, biasanya banyak anggota keluarga yang datang, sehingga perlu banyak meja yang susunannya memanjang,” katanya.
“Kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu demi terwujudnya keharmonisan dan kerukunan,” tambahnya.
Dalam acara tersebut, juga berlangsung peresmian mural yang mencerminkan kehidupan dan kerukunan umat beragama di Pecinan Semarang. Tujuannya ialah juga untuk mempercantik kawasan tersebut serta mengurangi daerah kumuh di sekitarnya. (*)