Ia pun mengajak masyarakat untuk terus menyuarakan kebenaran dan kondisi riil di lapangan agar pemerintah mau bercermin dan bertanggung jawab atas kebijakan yang telah diambil.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Dr. Busyro Muqoddas menyebut bahwa politik dan kebijakan publik di Indonesia sarat praktik korupsi.
BACA JUGA: Hasil Survei: Masyarakat Puas dengan Kinerja Walikota Semarang, Akademisi Sebut Agustina Responsif
Peristiwa itu tidak terjadi secara kebetulan, melainkan korupsi yang perancangannya secara sistematis (by design), terutama dalam sektor politik dan kebijakan publik.
“Tidak ada korupsi yang tidak by design. Terutama di Indonesia, korupsi itu dirancang. Ini bagian dari krisis politik, dan kalau diteliti lebih dalam, kaitannya dengan krisis iklim akan semakin jelas,” kata Busyro.
Ia menyoroti penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) yang tetap terlaksana meski terdapat peringatan risiko lingkungan. Praktik tersebut, menurut Busyro, memperparah kerusakan ekologis dan memperbesar dampak krisis iklim.
“Sudah ada peringatan, tapi justru diberikan lahan-lahan tambang. Contohnya banyak terjadi, termasuk di Sumatera Selatan dan daerah lain,” ungkapnya.
Ia menyebut fenomena tersebut sebagai bentuk hilirisasi korupsi politik, yang berjalan melalui perizinan tambang dan proyek-proyek ekstraktif lainnya. Dalam konteks ini, pemerintah pusat memiliki peran besar karena menjadi pihak pemberi izin. (*)
Editor: Farah Nazila













