BUKAN hal yang jarang kita dengar jika ada wanita yang akan atau sudah menikah, mereka akan mendapatkan kata-kata seperti ‘sold out’ atau laku.
Istilah “sold out” ini juga tampaknya seperti mengibaratkan bahwa wanita adalah ‘barang’ untuk proses transaksi dan dialih kepemilikannya, layaknya jual-beli.
Hal tersebut juga memunculkan pandangan seolah wanita merupakan pihak yang tidak memiliki otoritas terhadap dirinya sendiri, sehingga laki-laki lah yang dapat memiliki hal untuk ‘membeli’ wanita.
Mirisnya, bahkan istilah tersebut sering sesama wanita layangkan hingga saat ini.
Saat ini banyak anggapan terkait istilah ‘sold out’ yang mengarah kepada peralihan tanggung jawab dari ayah wanita tersebut kepada suaminya, yang mana kemudian membuat mereka harus taat sepenuhnya kepada suaminya sebagai bentuk bakti pada pasangannya setelah menikah.
Sejarah pernikahan dan pandangan terhadap wanita
Pandangan ini tak lepas dari fakta sejarah dalam penelitian berjudul Hakikat dan Tujuan Pernikahan di Era Pra-Islam dan Awal Islam oleh Ridwan Angga Jaruario dkk.
Dari buku tersebut, terdapat fakta bahwa pada masa Pra-Islam, masyarakat Arab masih memandang kedudukan perempuan sangat rendah dan hanya teranggap sebagai objek seksual serta alat untuk memperoleh keturunan.
BACA JUGA: Perkara Galat Bahasa,’Kita’; yang Kerap Kali Disalahartikan ‘Kami’
Dengan masa di mana kehormatan perempuan dapat pihak keluarganya wariskan, maka masyarakat Arab akan merasa malu jika melahirkan perempuan dalam keluarganya.
Hal ini pun cukup menjadi bukti yang memunculkan anggapan bahwa perempuan yang menikah akan mengangkat derajat keluarganya.
Pernikahan tak ada hubungannya dengan ‘kepemilikan’
Kita ambil contoh dari mahar yang wajib sewaktu akad nikah. Mahar pada dasarnya merupakan bukti pengakuan pihak suami akan kemerdekaan istrinya.
Mahar ini juga merupakan hal yang sering menjadi sorotan masyarakat. Bahkan, karena mahar, masalah pun bisa terjadi, utamanya bagi wanita. Salah satu masalahnya adalah kuantitas yang tidak sesuai ekspektasi.