“Bukunya best seller hingga sang profesor menjadi pembicara dibanyak tempat dan jadi teladan,” katanya.
Dalam perjalanannya keluarga sang profesor hidup makmur dan berkecukupan hingga anak mereka lulus dan bekerja juga di luar negeri pada perusahaan bonafit.
Namun, suatu waktu istri sang profesor sakit keras dan meminta anak-anaknya berkumpul karena ingin berwasiat.
“Namun tak ada satu pun anaknya yang datang karena alasan kesibukan dan faktor kedisiplinan tempat kerja, bahkan hanya berjumpa dengan sang ibu lewat Video vakk saja,” katanya.
Tibalah akhirnya Malaikat pencabut nyawa datang, tak ada satupun anaknya yang datang untuk pemakaman.
“Sang profesor menyesal, pendidikan tinggi tak menjamin anak memiliki kepekaan emosional, lalu ia menarik semua buku nya dari peredaran karena justru isinya tidak bermanfaat,” katanya.
“Didiklah anak tak hanya cerdas tapi juga punya empati yang tinggi,” pesannya.
Salah satu jamaah, Devi (22) yang ikut menunaikan sholat Idul Adha di komplek SMP SMA Muhammadiyah 8 Semarang mengaku sudah rutin ikut berjamaah.
“Rutin ikut sholat Idul Adha di sini, ada juga di SD Tambangan Mijen namun lebih dekat di sini dari lokasi dari rumah,” kata warga Perumahan BSB Jatisari Asri Mijen.
Devi datang sendiri bersama warga lainnya, sementara orang tua memilih untuk menggelar sholat Idul Adha pada Minggu 10 Juli 2022.
“Perbedaan hal yang wajar dan biasa soal kapan sholat Idul Adha, yang tidak wajar adalah yang enggak sholat Ied,” kata alumnus S2 Keperawatan UNIMUS ini. (Ak/El)