“Permasalahannya itu dilakukan dengan serta merta, akhirnya timbul masalah. Jadi ini harus dilakukan langkah-langkah yang jelas oleh pemerintah, membuat kebijakan tertulis, kalau memang ada revisi ya lakukan,” tekannya.
Perlu langkah tegas pemerintah
Lebih lanjut, Mufid menyadari jika pada aturan dasarnya, penjual terakhir gas LPG 3 Kg memang hanya pangkalan. Bukan warung atau pengecer. Hanya saja, kondisi sosial yang terjadi di masyarakat menimbulkan fenomena adanya warung eceran.
“Yang pertama, tidak semua daerah punya pangkalan. Yang kedua, masyarakat juga tetap cari yang terdekat. Sehingga munculah warung pengecer dalam penjualan gas elpiji,” paparnya.
Menurutnya, kebijakan Kementerian ESDM yang kemudian melarang warung menjual gas elpiji 3 kg lalu menimbulkan gejolak di masyarakat. Hingga hari keempat, terjadi kelangkaan di warung-warung pengecer hingga pangkalan.
Masalah kembali bertambah ketika Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan bahwa warung boleh menjual gas LPG 3 Kg, dengan status sebagai sub-pangkalan.
Mufid menyoroti, adanya tumpang-tindih antara kebijakan Kementerian ESDM dan pernyataan Prabowo. Padahal menurutnya, kalangan yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah masyarakat menengah kebawah dan UMKM.
Sehingga, Mufid menilai jika harus ada langkah-langkah yang terkoordinasi baik dari Prabowo maupun Kementerian ESDM dalam menyelesaikan kasus ini.
“Apakah sekarang itu kembali ke kebijakan awal atau tidak, ini yang perlu di perjelas oleh pemerintah. Karena kalau tidak, nanti timbul masalah di level masyatakat atau level bisnis,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila