Scroll Untuk Baca Artikel
Jateng

Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Apik: Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Jateng Meroket

×

Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Apik: Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Jateng Meroket

Sebarkan artikel ini
LBH APIK SEMARANG
Launching Catatan Tahunan LBH APIK Semarang 2023 di Monod Diephuis & Co, Kamis, 21 Desember 2023. (Fadia Haris Nur Salsabila/beritajateng.tv)

SEMARANG, beritajateng.tv – Kasus kekerasan perempuan dan anak di Jawa Tengah (Jateng) mengalami peningkatan tahun ini. Menurut Catatan Tahunan LBH APIK Semarang Tahun 2023, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi dengan jumlah pengaduan sebanyak 101 kasus. Angka ini naik dibanding tahun sebelumnya yang mencatatkan 82 kasus.

Dari 101 kasus tersebut, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi kasus yang paling sering diadukan. Mulai dari pembunuhan istri oleh suami, semakin terbukanya poligami, dan perkawinan anak yang juga turut memperparah faktor terjadinya KDRT.

“Negara cenderung mendorong mempertahankan kerukunan keluarga melalui upaya mediasi meskipun telah terjadi KDRT, dan termasuk masyarakat yang semakin mempromosikan poligami, dan penutupan lokalisasi. Sehingga hal-hal tersebut tanpa melihat akar masalah kekerasan terhadap perempuan,” ungkap Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko saat launching Catatan Tahunan LBH APIK Semarang 2023 di Monod Diephuis & Co, Kamis, 21 Desember 2023.

Ayu menambahkan, angka kekerasan seksual terhadap perempuan juga masih menjadi kasus tertinggi kedua di Tahun 2023. Menurutnya, kekerasan seksual tersebut termasuk kasus yang berbasis elektronik.

BACA JUGA: LBH APIK Terima 15 Aduan PRT, dari Kekerasan Fisik hingga Tak Mendapat Gaji

Namun demikian, Ayu menyebut jika angka tersebut masih belum menyeluruh lantaran masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak melapor. Hal tersebut akibat masih adanya stigma negatif terhadap korban.

“Contoh di tahun 2023 ini masih muncul peningkatan maupun perluasan bentuk kekerasan seksual, termasuk kasus incest dengan pelaku ayah kandung atau pelaku pelecehan seksual anak di bawah usia 5 tahun,” imbuhnya.

Perempuan seringkali jadi korban penghakiman sosial

Lebih lanjut, Ayu menuturkan jika budaya menyalahkan korban dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang mereka alami masih terus berlangsung hingga sekarang. Menurutnya, perempuan seringkali menjadi pihak yang disalahkan dan dirundung. Di sisi lain, tak jarang pelaku utama justru lolos dari penghakiman sosial.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik di sini.

Tinggalkan Balasan