MEMBACA Frankenstein (1818) karya Mary Shelley, seorang pengarang Inggris kenamaan, saya tak bisa tidak teringat situasi politik Indonesia kiwari, yang agaknya mirip dengan kisah di novel tersebut. Adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bertindak sebagai Victor Frankenstein, tokoh utama novel; sementara makhluk mengerikan ciptaannya ialah Joko Widodo (Jokowi), Presiden Republik Indonesia ketujuh.
Hingga penghujung novel, Victor Frankenstein dikisahkan kewalahan dan tak mampu menangani “monster” ciptaannya sendiri, bahkan sampai dirinya gugur. Demikian pulalah PDIP terhadap Jokowi: partai banteng itu belakangan juga tampak kelimpungan membendung kengerian yang disebabkan oleh sosok politik yang mereka ciptakan sendiri, khususnya menjelang akhir masa jabatan sang presiden.
Singkat cerita novel Frankenstein, tokoh Victor Frankenstein, dalam ambisinya, bertekad menciptakan makhluk hidup dari bahan-bahan tak hidup. Ia menghabiskan waktu berbulan-bulan mengumpulkan bagian tubuh dari rumah sakit dan kuburan. Lantas, ia merakitnya menjadi bentuk manusia yang besar dan kuat.
Pada suatu malam penuh badai, Victor berhasil membangkitkan makhluk ciptaannya dengan aliran listrik, menggunakan petir sebagai sumber tenaga. Namun, alih-alih menciptakan keajaiban, Victor semata-mata melihat kengerian dalam sosok makhluk yang mengerikan.
Kecewa dan marah, makhluk itu menyadari bahwa penampilannya membuatnya terasing dari manusia. Ia mulai menyalahkan Victor atas nasib buruk yang ia alami. Merasa dikhianati oleh penciptanya, makhluk itu bersumpah untuk membalas dendam. Ia mencari Victor dan menuntutnya menciptakan pasangan, seorang perempuan yang bisa menemaninya dan berbagi nasib yang sama. Makhluk itu berjanji akan meninggalkan umat manusia dan hidup terisolasi bilamana Victor mengabulkan permintaannya.
Victor setuju dan mulai bekerja. Namun, di tengah proses penciptaan, ia tersadar akan potensi bahaya yang lebih besar. Terlebih jika makhluk kedua ini juga tak bisa dikendalikan. Dengan rasa takut akan tanggung jawab yang lebih besar, Victor menghancurkan ciptaan barunya, memicu amarah makhluk pertama. Sebagai balasan, makhluk itu membunuh orang-orang terdekat Victor, satu per satu.
Tragedi demi tragedi membuat Victor semakin terpuruk dalam rasa bersalah dan kebencian. Ia bersumpah untuk memburu makhluk itu hingga ke ujung dunia.
Jokowi meradang bagai monster ciptaan Frankenstein
Sampai di titik itu, permintaan si monster akan seorang pasangan seakan mirip dengan permintaan Jokowi yang menurut dugaan menginginkan lanjut tiga periode jabatan kepresidenan. Hal yang sama terjadi ketika permintaan-permintaan itu tak terpenuhi: keduanya, sang monster dan Jokowi, sama-sama “mengamuk”.
Jokowi, sebagaimana si monster, membabat orang-orang dekat penciptanya, dalam hal ini partai yang dulu mengusungnya menjadi presiden, dengan cara me-reshuffle menteri-menteri dari PDIP. Tak hanya itu, ia pun mencabut dukungan kepada calon presiden usungan PDIP saat itu, Ganjar Pranowo, yang mestinya ia sokong untuk menjadi penerusnya. Ia justru merapat ke calon presiden Prabowo Subianto, mantan rivalnya, serta, seolah-olah “mengajukan” putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi wakil pendamping Prabowo. Lalu, Gibran, putra sulungnya, serta Bobby Nasution, menantunya, yang keduanya sama-sama menjadi kepala daerah berkat PDIP, pun berakhir keluar dari partai lantaran merapat ke Prabowo, mengikuti jejak Jokowi.
BACA JUGA: Memori Kolektif Bocah-bocah Menolak Saleh dalam Novel Teranyar Eka Kurniawan
Demikianlah semua terjadi hingga Prabowo & Gibran berhasil memenangi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Hal itu membuat “amarah” Jokowi tampak sebagai umpatan sengit yang telak ia lontarkan kepada PDIP, partai yang dulu menciptakannya.
Lantas, apakah cerita berakhir sampai di situ? Kalau tidak, bagaimana akhir yang pantas bagi kisah Frankenstein berlatar politik Indonesia ini? Sebab, PDIP tampaknya memilih untuk menolak mati, melainkan terus mencoba mengatasi persoalan dengan melawan monster ciptaannya sendiri.
Mungkinkah Raja Jawa berbagi akhir yang sama seperti Raja Jalut?
Bila salah satu orang dekat Jokowi dengan jemawa menyebutnya “Raja Jawa”, maka kisah mirip Raja Jalut ditentang Nabi Daud bakal menjadi sekuel yang menarik. PDIP bertindak sebagai Daud, dan Jokowi, tentu saja, sebagai Jalut. Sebagaimana Daud, PDIP pun seorang diri melawan sang raja raksasa, yakni Jokowi beserta orang-orang dekatnya dalam sebuah koalisi raksasa.
Yang demikian itu tampak dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang bakal berlangsung November mendatang. Tak sedikit daerah di Indonesia di mana PDIP menjadi partai tunggal yang mengusung pasangan calon (paslon) kepala daerah sendiri. Lawannya? tentu sebagian berasal dari orang dekat Jokowi, atau dari raksasa koalisi bertajuk Indonesia Maju Plus (KIM Plus). Kesemuanya sama-sama berkelindan di lingkaran Jokowi.
BACA JUGA: Menyaksikan Ontran-ontran Program Sastra Masuk Kurikulum di Tepi Gelanggang Polemik
Sebagai contoh, sebut saja medan politik di Provinsi Jawa Tengah. Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah 2024, paslon usungan PDIP mesti melawan Ahmad Luthfi, yang notabene orang dekat Jokowi.
Tanpa bermaksud mengagung-agungkan PDIP dengan menyamakannya dengan seorang nabi, mengamini akhir cerita serupa kemenangan Daud atas Jalut untuk Pilkada 2024 barangkali menjadi harapan yang tak naif-naif amat; baik bagi mereka yang menentang koalisi raksasa, maupun bagi PDIP sendiri, yang telah menciptakan monster yang membikin karut-marut politik Indonesia kiwari ini. Barangkali. (*)
Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv