“AKU berhenti pergi ke masjid,” demikian Eka Kurniawan mengawali novel kelima sekaligus teranyarnya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (Gramedia Pustaka Utama, 2024). “Aku berhenti sembahyang,” tulisnya pada kalimat kedua, yang lantas ia imbuhi sederet pemberontakan religius-kekanakan si tokoh utama, Sato Reang, yang memadati paragraf pembuka.
Sesungguhnya, Sato Reang ialah bocah baik-baik. Namun, semua berubah ketika ia beres bersunat, atau, “kehilangan kulup di ujung kemaluannya,” sebagaimana Eka menyebutnya. Pikirannya penuh gemuruh, terlebih selepas sang ayah sekonyong berujar kepadanya, “Sudah saatnya kau menjadi anak saleh.”
Dalam ajaran Islam, sunat membuat lelaki sah menjadi seorang muslim sejati yang mesti melakoni pelbagai kewajiban, termasuk salat dan puasa. Akan tetapi, Sato Reang justru tak jenak dengan sembahyang, begitu pula syariat lainnya. Namun, dengan berbagai cara, ayahnya selalu berusaha mendisiplinkan ia agar selalu dalam koridor kesalehan: salat tepat waktu, salat di masjid atau musala atau surau, pula rajin mengaji.
Sato Reang pun mesti merelakan masa kanak-kanaknya demi menuruti kehendak ayahnya untuk patuh terhadap ajaran agama. Ia merasa iri pada kawan-kawan sebayanya yang tak saleh-saleh amat, yang sesekali boleh melewatkan sembahyang. Hingga akhirnya “pengingat salat”-nya telah tiada, dan ia menjadi bebas sebebas-bebasnya. Ia tak lagi patuh agama. Ia tak lagi saleh.
Kebinatangan seolah merangsek keluar dari dalam dirinya. Sato Reang lantas menjajal segala macam hal yang dilarang agama. Ia pun menjadi iblis kecil yang bahkan menggoda kawannya sendiri yang amat saleh untuk berbuat maksiat.
Sewaktu sebagian kawannya malih menjadi anak baik selepas bersunat, Sato Reang malah memilih jalan lain. Ia menjadi malas sembahyang, malas berangkat ke sekolah, dan memilih keluyuran ke manas hatinya suka.
BACA JUGA: Perkara Galat Bahasa, ‘Kita’ yang Kerap Kali Disalahartikan ‘Kami’
Representasi bocah enggan saleh dalam diri Sato Reang
Saat membaca Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (AMKM), saya, juga barangkali mereka yang masa kecilnya cukup dekat dengan hal-hal religius, justru merasa terwakilkan dengan apa yang Sato Reang perbuat di dalam novel. “Anak-anak kecil hanya mengikuti apa yang dikatakan sepuh-sepuh ini, dan mereka tak pernah punya keinginan untuk menerangkannya.” Gerutuan Sato Reang dalam benaknya tersebut cukup menggambarkan bagaimana para orang tua hanya gemar memberi perintah keagamaan kepada anaknya sewaktu kecil. Sang anak tak beroleh penjelasan konsep mendasar sekalipun terkait agama maupun laku beragama. Yang ada hanyalah seruan perintah untuk melakoni sekian ritus agama, dan, agaknya, memang demikianlah umumnya orang tua mengajarkan agama kepada anak-anak.
Sejak saya kecil, orang tua telah mengajari saya untuk membaca doa-doa, sembahyang lima waktu, hingga turut berpuasa saat Ramadan tiba. Ajaran agama yang sekonyong-konyong lagi tanpa penjelasan itu membuat ritus-ritus tersebut seolah menjadi rutinitas belaka. Dan, tak jarang yang demikian membuat saya kala itu terantuk penat.
Sebagaimana Sato Reang, saya juga dibangunkan di waktu Subuh, tentu supaya tak sembahyang kesiangan. Jika ayah Sato Reang sekadar memanggil dan mengetuk pintu, ayah saya bahkan menambah pula dengan menimpuk menggunakan bantal serta guling. Meskipun, saya tak sampai beroleh kewajiban untuk selalu salat berjamaah di masjid.
Selain itu, selama saya bersekolah di bangku SD, orang tua memasukkan saya ke sekolah sore untuk belajar mengaji. Bahkan, selepas tamat dari sana, mereka menambahi pula dengan mendatangkan guru privat untuk mengajar agama di rumah, yang untungnya tak berlangsung lama. Betapa….
BACA JUGA: Menyaksikan Ontran-ontran Program Sastra Masuk Kurikulum di Tepi Gelanggang Polemik
Cara orang tua ajarkan agama kepada anak cenderung otoriter
Sungguh, masa kecil yang demikian itu cukup terepresentasikan lewat masa kecil Sato Reang di dalam AMKM: merasa iri dengan rekan sebaya yang tak perlu kelewat patuh beragama. Toh, kewajiban beragama cukup diajarkan dengan baik selama pembelajaran agama di sekolah maupun kuliah—apalagi dulu saya sempat masuk pesantren dan selepas SMA berkuliah di sebuah universitas Islam.
Sebetulnya Sato Reang, barangkali juga sebagian besar anak kecil hingga remaja, tak terlalu bisa mengekspresikan keinginannya untuk melawan kehendak orang tua. Yang bisa mereka lakukan hanyalah ngedumel sendiri di dalam hati. Sehingga, ketika berangsur-angsur dewasa dan tak lagi dalam pantauan orang tua, mereka lantas mencoba melepas “beban kesalehan” itu dengan menjadi biasa-biasa saja, atau bahkan meliar sebagaimana Sato Reang.
Agaknya, Eka Kurniawan menulis AMKM seakan-akan ingin menyindir cara orang tua mengasuh anaknya yang cenderung otoriter. Mereka kerap mendidik dengan mengatur secara ketat, kaku, atau bahkan keras. Harapannya, agar sang anak manut terhadap mereka, tentu lagi-lagi tanpa penjelasan yang memadai. Boleh jadi, cara mendidik yang ayah Sato Reang pula ayah-ayah lain lakukan berasal dari latar belakang budaya ataupun turun-temurun. Sehingga, mereka bisa saja sekadar meniru bagaimana cara orang tua mereka mengasuhnya saat kecil dulu. Begitu. (*)
Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv