INDONESIA baru saja menambah satu kasus dalam daftar panjang peristiwa pembakaran buku yang merentang dari masa ke masa. Termutakhir, seorang warganet membakar sebuah buku karya Najwa Shihab, Duta Baca Indonesia (2016-2020).
Ontran-ontran bermula ketika beredarnya pernyataan Najwa dalam sebuah video yang menyebut kepulangan Joko Widodo (Jokowi) ke Solo sebagai “menebeng” pesawat TNI AU. Sebagian besar warganet yang masih—dan tampaknya terus—bersimpati kepada Presiden Indonesia ke-7 itu lantas mencak-mencak. Mereka menyesaki kolom komentar postingan video TikTok itu dengan olok-olok, dan tak sedikit yang menyinggung SARA.
Demikianlah sepotong kata “nebeng” mampu menyulut bara di seantero media sosial, yang apinya merambat pula pada buku Catatan Najwa.
Padahal, bila kita dengar saksama video aslinya, ucapan Najwa tersebut bernada santai saja, yang bahkan lebih menjurus ke satire alih-alih cemoohan. Namun, para simpatisan Jokowi tentu menganggap sebaliknya; terlebih usai beberapa waktu yang lalu ramai kasus sang putra bungsu, Kaesang Pangarep, yang juga ditengarai “menebeng” pesawat jet pribadi milik seseorang kawan.
BACA JUGA: Melihat AI Bekerja: Sekitar Pro-Kontra Sampul Buku dengan Gambar Ciptaan Akal Imitasi
Akan tetapi, yang membuat peristiwa pembakaran buku Najwa itu konyol ialah sang pembakar sendiri mengaku tak membaca isi buku tersebut. Seorang penyair Rusia, Joseph Brodsky, pernah menyebut, “Ada kejahatan yang lebih keji daripada membakar buku. Salah satunya ialah tidak membacanya.”
Sementara di Indonesia, seorang pembakar buku Catatan Najwa, mungkin juga orang-orang yang terlibat dalam daftar peristiwa pembakaran buku di negeri ini, malah melakukan keduanya: mereka membakar buku sekaligus tidak membacanya.
Perbuatan membakar buku semacam itu justru membuat akal sehat mereka turut tersambar apinya. Akal sehat ludes menjadi abu, oleh kobaran amarah yang menyala-nyala. Ketimbang membaca kalimat-kalimat dalam buku, mereka lebih memilih menyemburkan kalimat-kalimat panas.
Dan ujaran-api itu akan merembet ke mana-mana, ke banyak orang, apalagi terkena tiupan angin para pendengung (buzzer) yang bersangkutan. Dan orang-orang, dengan sebagian atau seluruh akal sehatnya hangus, pun lantas ikut-ikutan melontarkan makian sengit kepada Najwa Shihab.
Kisah pembakaran buku dalam novel Fahrenheit 451
Sementara itu, bakar-bakaran buku yang belakangan terjadi ini juga mengingatkan pada novel Fahrenheit 451 karya Ray Bradbury, seorang pengarang Amerika Serikat.
Dalam novel itu terkisah ada pemadam kebakaran yang tugasnya justru bertentangan dengan nama pekerjaannya, yakni: membakar buku. Pasalnya, pemerintah dalam dunia Fahrenheit 451 menciptakan propaganda bahwa buku merupakan sumber kebingungan, konflik, serta ketidakbahagiaan.
Pemerintah bahkan menganggap kegiatan membaca bisa membuat warga mempertanyakan tatanan hidup yang telah penguasa atur, lantas orang-orang bakal melawan hingga mengusik stabilitas sosial. Itu sebabnya pemerintah di sana menitahkan agar buku dibakar hingga musnah pada suhu 451 °Fahrenheit.
Tak berhenti di situ, penguasa juga menciptakan konflik horizontal di mana masyarakat menjadi saling melaporkan apabila mengetahui orang lain menyimpan buku. Bahkan, pemerintah memiliki anjing robot canggih yang bakal menindas para pembaca buku dengan kekerasan layaknya polisi.
Tak ingin warganya berpikiran kritis, pemerintah pun terus-terusan menyediakan hiburan rendahan guna mengalihkan perhatian mereka dari buku, termasuk dengan adanya televisi interaktif yang besarnya hampir seruangan penuh.
Pelbagai macam cara tersebut membuat pemerintah dapat menyeragamkan apa yang warganya terima serta konsumsi. Sehingga, tak terjadilah perbedaan pandangan, dan orang-orang bisa dengan mudah mereka arahkan.
Melihat beberapa hal dalam Fahrenheit 451 dengan satu dan lain cara bermunculan di Indonesia—dari pembakaran buku, anjing canggih (bot buzzer) hingga hibur-hiburan dangkal (konten murahan TikTok, dlsb), rasa-rasanya itu semua sebaiknya berakhir sebatas fiksi belaka. Alias: Make Fahrenheit 451 fiction again!
Tanpa bermaksud mengglorifikasi, di masa-masa pemerintahan Indonesia kiwari ini, membaca buku menjadi salah satu sarana untuk menjaga akal sehat. Setidaknya, ia memberi jeda waktu untuk kontemplasi diri, untuk merawat kewarasan.
Bila tidak gemar membaca, tampaknya menjaga jarak dari para imbesil, apalagi yang gampang tersulut, pun ada baiknya. Sebab kebodohan seperti api; ia menjalar dan merusak. (*)
Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv