Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa proses penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak di tahap litigasi terkesan lambat. Ditambah, dua alat bukti yaitu keterangan korban dan visum et repertum masih dianggap kurang sebagai barang bukti yang cukup.
“Hal tersebut menunjukan kurangnya perspektif terhadap korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak,” imbuhnya.
Fokus pada penanganan korban
Untuk mengatasi hal tersebut, LBH APIK Semarang menuntut beberapa hal kepada Pemerintah Kota Semarang. Antaranya membentuk sarana satu pintu yang komprehensif dengan melibatkan komunitas atau lembaga bantuan hukum yang fokus terhadap perempuan dan anak.
Layanan tersebut bisa berupa bantuan hukum, pemulihan psikologis korban, layanan medis. Selain itu juga ruang belajar untuk korban melanjutkan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan rehabilitasi sosial.
BACA JUGA: Bocah Perempuan 12 Tahun di Semarang Tewas Diduga Kekerasan Seksual, Kerap Tidur dengan 3 Sosok Ini
“Sehingga korban atau masyarakat atau keluarga korban yang mengalami kekerasan seksual dapat menjadikan sarana satu pintu yang komprehensif tersebut menjadi ruang untuk terpenuhi keadilan bagi korban kekerasan seksual,” tekannya.
Selain itu, pihaknya berharap agar Pemkot Semarang dapat segera melakukan pakta komitmen dengan Aparat Penegak Hukum (APH). Adapun harapannya upaya dapat terlaksana dalam penanganan kasus bersama menggunakan prinsip mengedepankan hak-hak korban kekerasan seksual tanpa adanya diskriminasi.
Editor: Farah Nazila