BACA JUGA: Ombudsman RI: Pemkot Semarang Langgar Hukum Karena Tak Bayar Insentif Nakes Saat Covid-19
Verifikasi tersebut di antaranya pengecekan apakah nakes benar-benar aktif menangani pasien Covid-19 selama periode tersebut.
“Sekarang ini kami sedang lakukan verifikasi ulang, misalnya apakah mas ini (contoh nama nakes). Ternyata memang satu bulan berturut-tutut menangani pasien Covid-19. Itu tugas kami,” jelasnya.
Namun, ia menyebut, urusan pembayaran insentif bukan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan. “Kalau tugas bayar-membayar bukan tugas saya,” katanya.
Terkait jumlah nakes yang menangani Covid-19, ia menyebutkan bahwa data tersebut bervariasi.
Ia juga mencatat bahwa kasus Covid-19 tertinggi terjadi pada Februari dan Maret 2022, saat gelombang varian Omikron melanda.
“Karena Desember itu kan sempat kasusnya kurang. Yang saya tahu itu dari situ.
Paling banyak, Februari 2022, karena kan Desember Nataru. Januari masih mudik nih, Februari omicron-nya mengganas
Makanya kasus yang paling tinggi ada di Februari dan Maret 2022,” terangnya.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Semarang, Tuning Sunarningsih mengatakan, sesuai arahan Walikota. Pihaknya juga sedang menghitung kekuatan anggaran agar bisa membayarkan insentif nakes. Pada tahun 2022, surat edaran untuk insentif nakes keluar setelah APBD di sahkan, sehingga insentif nakes tidak bisa masuk dalam APBD.
Sementara, saat itu APBD juga fokus untuk penanganan Covid-19, sehingga insentif untuk nakes memang belum bisa teranggarkan. “Untuk nakes, surat keluar setelah APBD ditetapkan, kita tidak bisa serta merta mengusulkan. Atau setelah lewat tahun tidak bisa serta merta menambahkan,” ujarnya.
Di sisi lain, rekomendasi Ombudsman RI tersebut ditujukan kepada Direktur Rumah Sakit KRMT Wonongsonegoro, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Semarang.
Total kerugian akibat belum dibayarkannya Inakesda di taksir sebesar Rp 9 miliar. (*)
Editor: Elly Amaliyah