Ia memberi sedikit bocoran mengenai makna lukisan yang akan ia pamerkan pada 3 November mendatang. Satu di antaranya, makna nama Lempongsari yang berasal dari kata lempung atau tanah liat.
Menurutnya wilayah tersebut dulunya adalah perbukitan yang dipenuhi tanah liat. “Ada cerita juga mengenai rumah milik Oie Tiong Ham pengusaha terkaya se Asia di era kolonial, ia punya rumah di wilayah Lempongsari,” terangnya.
Andreas berujar yang paling ia tekankan dalam pameran mendatang adalah kritik kondisi lingkungan Lempongsari dan Kota Semarang.
Pasalnya ia menilai kondisi lingkungan di Lempongsari dan Kota Semarang tidak ramah lagi. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya sejumlah bencana seperti banjir bandang dan tanah longsor.
“Lewat pameran yang akan saya gelar, saya ingin mengingatkan ke semua pihak bahwa alam harus dihormati dan dijaga, jangan ngawur melakukan pembangunan sehingga merusak alam,” ucapnya.
Ia menjelaskan sebelum Lempongsari ada, wilayah tersebut adalah perbukitan yang diisi rerimbunan pepohonan. Berbeda dengan sekarang yang dipenuhi bangunan hingga tak menyisakan pohon untuk hidup.
Ia percaya suatu saat Lempongsari akan kembali ke kondisi awal yaitu perbukitan tanah liat. “Saya percaya akan terjadi suatu peristiwa kembali ke alam. Kalau dulu laut kembali ke laut, kalau dulu bukit jadi bukit. Hal itu juga akan terjadi di Lempongsari,” tambahnya.
Pemeran yang akan digelar oleh Andreas bakal diajukan ke MURI, lantaran belum pernah ada perupa yang memamerkan puluhan lukisan dengan cerita bersambung mengenai terbentuknya wilayah Lempongsari. (Ak/EL)