Pernikahan dini di Indonesia rupanya masih merebak di tengah adanya isu penurunan angka perkawinan yang menyentuh 7,5 persen pada tahun 2023.
Dari data yang UNICEF catat, terdapat 1 dari 9 perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun (2020). Bahkan, organisasi tersebut mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkati empat dalam perkawinan anak global dengan jumlah kasus sebanyak 25,53 juta di tahun 2023.
Angka tinggi tersebut juga menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan dini terbesar. Tiga provinsi yang memiliki persentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung. Angkanya di atas 37 persen (BPS 2017).
Pernikahan dini merupakan masalah global yang mempengaruhi setidaknya 12 juta anak perempuan di setiap tahunnya, tentunya, menjadi suatu keharusan untuk masyarakat agar lebih serius menyoroti fenomena ini.
Umumnya, pernikahan dini sudah lama menjadi bagian dari budaya di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Pandangan soal pernikahan dini adalah suatu yang normal, wajar dan diterima oleh masyarakat masih mengakar kokoh di berbagai kalangan. Padahal, pemerintah dan organisasi humanis terus mengupayakan sosialisasi penundaan usia pernikahan. Adapun alasannya adalah untuk kebaikan pendidikan dan kesehatan.
BACA JUGA: Tetap Sakral Meski Internasional, Prosesi Pernikahan Adat Jawa Modern Ngetren Lagi
Pemerintah juga sudah menetapkan batas usia untuk melakukan pernikahan, gunanya meminimalisir hal-hal yang tidak di inginkan dalam rumah tangga seperti kekerasan dalam rumah tangga, menghindari hubungan pernikahan yang toxic, dan untuk meminimalisir terjadinya perceraian.
Ada banyak faktor yang memperkuat alasan mengapa fenomena pernikahan dini ini sulit untuk dihilangkan. Salah satunya adalah minimnya akses pendidikan, khususnya di daerah terpencil. Anak-anak, terutama perempuan, tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Di saat pendidikan tidak dianggap penting, muncul lah pemikiran bahwa ‘pernikahan dini menjadi jalan untuk mengamankan masa depan’. Adapun kurangnya akses informasi soal dampak negatif pernikahan dini; resiko kesehatan reproduksi dan hilangnya kesempatan pendidikan membuat masyarakat tidak sepenuhnya aware atau menyadari bahayanya. Persepsi soal hak dan kewajiban juga telah mendorong banyak orang tua enggan memperjuangkan hak pendidikan anaknya. Ketika pendidikan dianggap sebagai hak, orang tua berpikira bahwa hal tersebut adalah sunnah, tidak apa-apa jika tidak dilakukan. Persepsi tersebut yang harusnya diubah untuk memerjuangkan hak-hak anak.