Tak pelak, tradisi itu bisa membekas di ingatan anak-anak yang mengikuti Ma’burasa. Alhasil, keseruan dan kekompakan kegiatan Ma’burasa tetap melekat dalam ingatan anak-anak.
Belakangan, ketika mereka jauh dari rumah, mereka sangat merindukan tradisi sehingga keinginan untuk kembali ke kampung halaman semakin kuat.
Ternyata kuliner seperti lontong yang biasa dinikmati dengan Coto Makassar ini tidak hanya menjadi favorit serangga saja. Orang asing juga ikut menikmati Burasa. Misalnya Lawrence Winkler. Dalam buku Stories of the Southern Sea (2015), Winkler bercerita tentang pengalamannya di Makassar dan mencoba makanan khas lainnya, termasuk Burasa.
Sarat Nilai Sosial Budaya
Melestarikan Ma’burasa sama dengan merayakan euforia yang dikandungnya. Ma’burasa menjadi tradisi yang melegenda karena sarat akan nilai-nilai penting kehidupan.
Misalnya terlihat setelah Burasa matang. Menurut tradisi, sebelum mempersembahkan Burasa terlebih dahulu dilakukan ritual pembacaan doa yang dikenal dengan pembacaan Mabbaca-baca. Biasanya Burasa disuguhkan terlebih dahulu kepada Imam atau Ustadz yang memimpin pengajian sebagai ucapan terima kasih karena telah melewati Ramadhan dan agar pemilik rumah bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan.
Ini menciptakan rasa kebersamaan sosial dan wacana tentang kekuasaan. Mereka yang merasa dihargai di masyarakat mengajak warga lainnya untuk makan dan mencicipi masakan Burasa yang telah mereka siapkan. Selain itu, makan Burasa juga memiliki nilai lain seperti konsep kebersamaan.
Ma’burasa juga melibatkan rasa berbagi. Kita ambil contoh satu bungkus burasa saja, paling tidak dua sampai tiga orang bisa makan burasa. Istimewanya solidaritas yang terjadi bukannya makan Burasa (*).
