Catatan Editor

Menyaksikan Ontran-ontran Program Sastra Masuk Kurikulum di Tepi Gelanggang Polemik

×

Menyaksikan Ontran-ontran Program Sastra Masuk Kurikulum di Tepi Gelanggang Polemik

Sebarkan artikel ini
Sastra Masuk Kurikulum
Ilustrasi buku di perpustakaan. (Foto: Freepik)

SASTRA Masuk Kurikulum belum lama ini dirilis oleh Kemendikbudristek, dan tak perlu waktu lama baginya untuk memanen kritikan. Menggandeng para pengarang sastra kenamaan tampaknya tak serta-merta membuat program itu lantas menjadi beres dan bermutu. Borok dan bopeng pun mulai bermunculan. Sebagaimana titik lemah, hal itu seketika menjadi sasaran tinju para pengkritik.

Kritik yang muncul di awal-awal sebagian besar berasal dari publik sastra Indonesia sendiri. Mudah saja bagi mereka mengendus hal tak beres dari program yang sekonyong-konyong muncul itu. Salah satunya yakni soal buku-buku karya para pengarang dalam Tim Kurator program yang nyaris semuanya masuk pada daftar rekomendasi buku untuk para siswa di sekolah, SD hingga SMA.

Program Sastra Masuk Kurikulum memang sedianya merupakan panduan berupa daftar buku—entah novel, kumpulan cerpen, puisi, drama, maupun karya sastra lainnya—yang bisa guru implementasikan untuk sarana menyampaikan pelajaran. Namun, meski program itu hanya di lingkup sekolah, sebagian publik sastra menganggapnya sebagai upaya penciptaan kanonisasi. Gampangnya, membuat seseorang menjadi patron utama dalam kesusastraan, yang mana, menurut mereka, memungkinan si pengarang beroleh keuntungan, dalam bentuk apa pun.

Tak lama kemudian, kritik dan komentar pun mulai membanjir, menggenangi gelanggang polemik. Mulai dari buku panduan program yang memuat teks-teks ringkasan buku yang diduga menggunakan ChatGPT, hingga konten-konten dalam sejumlah buku yang sebuah kelompok Islam nilai tak pantas ditujukan kepada siswa.

Namun, di sini saya tak hendak turut lompat ke dalam pergumulan di tengah gelanggang. Kapasitas saya bukan seorang sastrawan, bukan pula praktisi pendidikan, apalagi bocah sekolah. Sebagai penonton di pinggir ring, ada baiknya saya membatasi diri untuk sekadar berkomentar.

BACA JUGA: Kebijakan Zero Pungutan untuk Larang Study Tour yang Nggak Nyambung

Sastra Masuk Kurikulum, perpustakaan masuk ingatan

Pertama kali mendengar program Sastra Masuk Kurikulum, saya justru teringat perpustakaan-perpustakaan semasa sekolah, meskipun samar-samar. Bagaimana tidak? Nyaris seluruh ingatan saya atas perpustakaan di sekolah semata-mata berupa aktivitas mengerjakan tugas mata pelajaran di ruangan penuh buku. Betul, penuh oleh buku, namun aktivitas membaca buku di sana sayangnya hanya hitungan jari.

Sebut saja perpustakaan SD di mana saya bersekolah. Selama enam tahun belajar di sana, tak genap hitungan jari tempat itu pernah saya kunjungi. Sementara perpustakaan di SMP, lebih menyedihkan, yakni hanya untuk mengambil serta mengembalikan tumpukan buku paket yang sekolah pinjami secara cuma-cuma.

Saya tak perlu repot-repot menceritakan ingatan saya akan perpustakaan di SMA, sebab ia tak kalah memedihkan ketimbang kedua ingatan sebelumnya.

Padahal, semua aktivitas di perpustakaan itu sebenarnya nyaris semuanya bersinggungan dengan pelajaran bahasa Indonesia. Namun, entah mengapa, bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia tak lantas membuat saya kala itu menjadi gemar mengunjungi perpustakaan untuk membaca buku.

Boleh jadi, program Sastra Masuk Kurikulum ingin mencoba memperbaiki itu. Ia ingin mendekatkan buku-buku sastra kepada siswa lewat perantara guru. Apalagi, program ini tak hanya terbatas pada pelajaran bahasa Indonesia; untuk pelajaran lain pun bisa. Semua berkesempatan mengakses sastra.

BACA JUGA: Pameran ‘Dini, Kita, Nanti’: Ajak Generasi Muda Kenali Sastrawan Kondang Asal Semarang

Program sastra besutan guru bahasa Indonesia

Namun, saya cukup yakin para guru bahasa Indonesia telah membikin sendiri “daftar rekomendasi sastra” untuk membantunya mengajar, jauh sebelum ramai-ramai program Sastra Masuk Kurikulum tercetus. Sebab, demikianlah yang terjadi pada guru-guru bahasa Indonesia saya semasa SMA.

Guru bahasa Indonesia kelas X saya tak banyak mengajarkan tentang sastra maupun buku, yang ada hanyalah serasa kembali belajar bahasa Indonesia sewaktu SMP. Barulah pada kelas XI guru bahasa Indonesia saya memperkenalkan buku dan sastra nyaris secara bersamaan. Meskipun, perkenalan itu berada di ujung tahun ajaran di mana ia menyuruh para murid membuat tugas resensi berdasarkan daftar buku sastra yang telah ia tentukan. Nama-nama pengarang seperti Ahmad Thohari, S.M. Ardhan, Sujiwo Tejo, dll pun termaktub dalam daftar tersebut.

Akan tetapi, alih-alih menyuruh untuk meminjam ke perpustakaan sekolah, ia justru menyuruh para murid untuk membeli sendiri buku-buku itu. Dan, pada akhirnya menyumbangkannya untuk perpustakaan!

Tampaknya perpustakaan SMA kami memang tak memiliki buku-buku yang ia rekomendasikan sampai-sampai ia mesti menciptakan program rekomendasi sastra sendiri untuk menambah koleksi perpustakaan. Hal demikianlah yang tersimpan di ingatan saya yang samar tentang perpustakaan: terpaksa membeli buku dan mendonasikannya untuk sekolah.

Sementara ketika naik ke kelas XII, guru bahasa Indonesia tak banyak menyarankan buku sastra, kecuali kami, para murid, yang beroleh pertunjukan cuma-cuma di mana ia membacakan puisi-puisi penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, di depan kelas, tentu untuk kebutuhan pelajaran. Tetapi, hal itu cukup membekas di ingatan hingga kini meski saya tak terlalu menyukai puisi.

BACA JUGA: Film Vina: Edukasi Gak Harus Mengeksploitasi

Sutardji dibikin mati ChatGPT

Teringat penyair Sutardji, teringat pula dirinya ditulis telah meninggal dunia dalam buku panduan Sastra Masuk Kurikulum, padahal saat ini ia tengah menikmati masa senjanya. Itulah salah satu bopeng dalam penggarapan program Kemendikbudristek itu, yakni dugaan penggunaan ChatGPT yang kerap kali memunculkan informasi keliru. Kabar baiknya, saat ini program ini sedang dalam perbaikan. Kemendikbudristek tengah merevisi buku panduan program dengan mempertimbangkan kritik dan masukan dari berbagai pihak.

Namun, sungguh, agaknya program tersebut mesti dibarengi pula dengan program untuk mendekatkan siswa pada perpustakaan. Terlebih, tujuannya pun sama, ingin meningkatkan literasi di kalangan siswa sekolah dengan membaca buku.

Tentu saja, program ini bakal semakin baik apabila perpustakaan sekolah mampu menyediakan buku-buku dalam rekomendasi karya Sastra Masuk Kurikulum. Sehingga, para murid tak akan memiliki ingatan samar lagi tak enak terkait buku, perpustakaan, dan sastra; apalagi sampai mesti mengeluarkan duit untuk membeli buku demi mengisi koleksi perpustakaan sekolah. Semoga! (*)

Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan