Selanjutnya, masih kata Ulin, perusahaan menjanjikan pelunasan pesangon pada akhir Mei 2022 dengan total kekurangannya Rp 8 miliar. “Tapi ternyata hingga sekarang zonk. Bahkan Disnakertrans Provinsi Jateng menetapkan perusahaan tersebut wanprestasi. Hari ini, kami menuntut kekurangan pesangon tersebut, karena kami dikecewakan dan dikibuli dengan janji-janji,” ujarnya.
Alasan penutupan perusahaan tersebut, lanjut Ulin, perusahaan menyampaikan menggunakan bahasa “merugi”. “Aktivitas produksi sebelum dinyatakan tutup memang tidak ada. Tetapi aktivitas penjualan aset masih berjalan. Mr X di PT Karisma Klasik Indonesia ini melakukan kerjasama dengan perusahaan lain, tapi malah justru merugikan perusahan sendiri,” katanya.
Dampaknya, sejak Januari 2022, hingga saat ini, karyawan menganggur di rumah masing-masing. “Karyawan ya ‘ndongkrok’ di rumah sembari menunggu pencairan pesangon. Rata-rata usianya sudah tua, sehingga tidak memungkinkan mencari pekerjaan di perusahaan lain,” ujar dia.
Direktur PT Karisma Klasik Indonesia, F Irawan Priyo S saat berusaha dikonfirmasi belum memberikan respons.
Kepala Disnaker Kota Semarang Sutrisno mengatakan, peran Disnaker dalam kasus sengketa ketenagakerjaan seperti ini sebagai mediator. “Kami mempertemukan dan menjelaskan bagaimana peraturan perundang-undangan berlaku. Ketentuannya seperti apa, kami jelaskan itu. Mulai dari mediasi Bipartit sesuai dengan tahap-tahapnya, kalau tidak selesai naik ke Tripartit, hingga dinaikkan ke Pengadilan Hubungan Industri (PHI),” katanya.
Pihaknya mengaku masih berupaya membantu agar hak pesangon karyawan PT Karisma Klasik Indonesia ini diberikan sesuai peraturan. “Tapi persoalannya begini, aset milik perusahaan yang ada saat ini apabila dijual tidak bisa menutup nilai pesangon karyawan yang totalnya mencapai Rp 8 miliar,” katanya.
Dikatakannya, persoalan pesangon karyawan seperti ini telah berkali ulang terjadi. Perusahaan ketika tutup bisa dipastikan tidak mampu membayar pesangon. “Saya dulu sudah pernah usul, dalam setiap pembuatan peraturan yang baru dimulai itu ada kalimat yang menyebutkan bahwa pesangon harus dibayar di depan,” katanya.
Hanya saja jeleknya, lanjut Sutrisno, UU Omnibus Law ketenagakerjaan itu tidak menyebutkan klausul bahwa pesangon harus dibayar di depan seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Pegawai negeri dipotong sejak mulai tahun kedua pegawai. Sehingga bisa terbayarkan kapan pun dia keluar. Ini yang seharusnya diperjuangkan serikat pekerja, supaya negara merevisi aturan di Omnibus Law ini,” katanya.
Sebab, apabila persoalan pesangon ini tidak dicicil atau dibayar dari awal bekerja, maka bisa dipastikan perusahaan tidak mampu membayar. “Asetnya dijual pun tidak cukup, terus mau bayar pakai apa? Ini yang jadi persoalan,” katanya. (Ak/El)