“Jadi 35 kabupaten/kota hari ini kami melakukan mapping ya, mapping daerah-daerah yang high risk terkait dengan rawan longsor, rawan banjir, kemudian adanya Gunung Merapi dan lain sebagainya. Kami bahas item by item,” ungkapnya.
Ia menegaskan, pemetaan itu menjadi dasar bagi kepala daerah sebagai pemimpin wilayah saat harus mengambil langkah cepat saat tanggap darurat.
Menurutnya, basis kesiapsiagaan berada di desa maupun kelurahan yang disiapkan sebagai garda terdepan mitigasi atau Tagana (Taruna Siaga Bencana) Desa.
“Basisnya adalah di desa-desa yang kita jadikan tanggap kesegeraaan. Jadi tagana desa ada hampir 8 ribu ini kita siapkan,” sambungnya.
Ia menjelaskan, upaya pencegahan berfokus pada perubahan musim dan potensi puncak hujan yang BMKG perkirakan terjadi pada Desember hingga Februari.
Luthfi menyebut, pemetaan ini perlu agar pemerintah daerah lebih siap memberi peringatan dini dan pendidikan kebencanaan kepada masyarakat.
“Minimal para pengemban wilayah dalam hal ini bupati/wali kota sudah mempunyai mapping untuk memberikan peringatan dini pencegahan serta pendidikan kepada masyarakat,” terangnya.
Selain itu, ia berharap setiap daerah sudah tahu langkah yang harus diambil bila bencana terjadi.
“Syukur-syukur sudah ada upaya apabila terjadi adanya suatu bencana, dia sudah mempunyai suatu antisipasi ke mana, di mana, dengan cara apa, dan lain sebagainya.”
Dalam rapat tersebut, kata Luthfi, simulasi berjalan secara detail. Luthfi berharap upaya mitigasi itu bisa mencegah terulangnya kejadian longsor besar seperti di Banjarnegara dan Cilacap.
“Ini tadi sudah kami simulasikan secara detail sehingga ke depan kita berdoa agar tidak terulang kembali kejadian wilayah Banjarnegara maupun di daerah Cilacap,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













