“Banyak orang Tionghoa sendiri tidak paham siapa Ita, terutama sebelum Sinci-nya di altar Bon Hian Tong. Dia bukan artis, tokoh, politisi, bukan siapa-siapa. Dia hanya anak remaja yang menjadi korban pada tahun 98 dan dia hendak bersaksi di PBB,” papar Ulin.
Menolak Lupa Ita Martadinata, Perempuan Pemberani Pembela Kebenaran
Menolak lupa akan kejadian keji tersebut, muncul ritual mengulek rujak pare sambal kecombrang yang berlangsung setiap setahun sekali sejak pertama kali pada 2018 silamnya. Ulin bercerita bahwa momen tersebut juga bertepatan dengan peristiwa bom di Surabaya.
Ulin menuturkan, pare yang pahit dan bunga kecombrang yang cantik menjadi simbol kegelapan dalam kerusuhan Mei 1998. Adapun bunga kecombrang yang diulek melambangkan perempuan etnis Tionghoa yang ‘remuk’ lewat kekerasan seksual yang tidak manusiawi.
“Ritual rujak pare itu sudah ada sebelum Sinci Ita Martadinata hadir di sini. Pare itu menggambarkan kepahitan peristiwa, kecombrang itu melambangkan perempuan yang diinjak-injak,” tandas Ulin.
Usai menggelar persembahyangan sekaligus doa untuk seluruh korban tragedi 1998, masyrakat kawasan Pecinan dan orang lintasagama mengadakan ritual rujak pare sebagai penghormatan (*).
Editor: Andi Naga Wulan.