Pihak Sapto Nugroho sudah mengajukan permintaan untuk dilakukan perhitungan suara ulang pada saat itu juga, menurut dia, karena adanya 17 suara rusak yang masih dipertanyakan sah atau tidaknya.
Namun, lanjut dia, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kalipucang Kulon dan penentuan pemenang pemilihan kepala desa itu didasarkan atas perolehan sebaran suara terbanyak di tingkat dusun.
“BPD Kalipucang Kulon mendasarkan penentuan pemenang pada Peraturan Bupati Batang Nomor 5 tahun 2022 tentang pemilihan kepala desa,” katanya.
Padahal, menurut dia, penentuan pemenang berdasarkan sebaran suara terbanyak di tiga dusun yang menggelar pemungutan suara itu karena tidak ada aturan tentang pembentukan dusun.
Panitia pilkades lantas menentukan pemenangnya berdasarkan pada calon yang unggul di paling banyak dusun di desa tersebut. Hasilnya, Zakaria unggul di dua dusun, sedangkan Sapto Nugroho hanya di satu dusun.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kalipucang Kulon kemudian menetapkan Zakaria sebagai calon kades terpilih. Selanjutnya, Pj Bupati dalam keputusannya mengesahkan dan melantik Zakaria.
Menurut Zamroni, penentuan pemenang pilkades dengan mekanisme begitu patut dipertanyakan. Sebab, pada Peraturan Bupati nomor 5 Tahun 2022 yang jadi pedoman panitia, tidak dijelaskan secara rinci.
“Penafsiran tentang dusun itu harus dibuktikan dengan peraturan desa, biar jelas legalitasnya, karena dulu ada pemekaran dari dua dusun menjadi tiga dusun. Kami sudah coba tanyakan itu tapi malah ditutup-tutupi,” ucapnya.
Selain itu, dalam persidangan Zamroni juga akan berupaya mengungkap kejanggalan penentuan sah tidaknya surat suara. Karena ada dugaan, surat suara yang seharusnya sah tetapi dianggap tidak sah. “Terdapat 17 surat suara yang dinilai tidak sah. Biar nanti di cek kembali untuk memastikan jumlah suara, ” katanya. (Ak/El)