“Parpol pada akhirnya lebih memilih calon populer atau kader instan, sehingga muncullah tokoh-tokoh yang mudah berpindah ke partai lain,” bebernya.
Parpol lupa mengikat kader dengan kaderisasi di internal partai
Jika seseorang bergabung dalam sebuah parpol atas dasar kesamaan ideologi, visi, maupun misi yang partai junjung, maka kecil kemungkinan kasus seperti Gibran ini akan terjadi.
“Persoalan sistem Pemilu sekarang ini memilih orang itu secara instan karena potensi itu ada, semacam dia orang-orang sukai. Maka parpol itu akan mencari dia untuk menambah kursinya, tetapi lupa untuk mengikat orang itu dalam pendidikan politik atau kaderisasi di internal partai,” tegasnya.
Lebih lanjut, Fitriyah turut mempertanyakan substansi yang partai politik berikan selama kaderisasi berlangsung. Baginya, parpol jangan hanya memberikan strategi pemenangan saat kaderisasi.
“Mungkin saat kaderisasi, parpol tidak berbicara apa tujuan orang berpartai dan apa yang menjadi kewajiban anggota partai. Bahwa saat ia terpilih jadi pejabat publik, maka tetap saja harusnya ia membawa visi-misi partai, dalam konstitusi partai kan begitu,” ucap Fitriyah.
BACA JUGA: Fenomena Politik Uang, Semakin Kecil Cakupan Dapil Semakin Tinggi Nilainya
Berkaca dari kasus Gibran, Fitriyah meyakini Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri akan lebih berhati-hati dalam memilih kader untuk mengisi pos-pos penting, utamanya dalam jabatan publik.
Fitriyah menyinggung, tak hanya survei popularitas kandidat saja yang mungkin akan jadi pertimbangan Megawati, namun loyalitas kadernya turut menjadi poin penting.
“Tentu Bu Mega akan mempertimbangkan kader, ya. Apalagi soal loyalitas itu penting, dan pengalaman yg kemarin ini akan lebih ketat soal ini,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi