“Ada empat, suara mereka sendiri alias by name, suara parpol sendiri, suara orang lain yang nyoblos (dicoblos) itu atau caleg yang menjadi kuota kursi. Itu suara jadi milik mereka, sudah ada SK,” jelasnya.
Sehingga, jika ada caleg yang memperoleh suara bukan dari ketentuan wilayah tempur, maka suara itu akan masuk ke caleg yang memiliki wilayah tempur.
BACA JUGA: Respons Protes Caleg yang Gugat ke KPU, PDIP Jateng: Mereka Semua Sudah Tahu Sistem Komandante
PDIP sebut sistem komandante gotong royong, cegah ‘jeruk makan jeruk’ di internal partai
Lebih lanjut, Sumanto mengungkap partai telah memberikan penugasan kepada enam caleg yang harus mengundurkan diri dari kursi DPRD Provinsi terpilih. Ia pun menyinggung sistem komandate itu mampu mencegah ‘jeruk makan jeruk’ dalam sistem Pemilu Terbuka.
“Ini sudah ada [penugasan], di dalam peraturan partai sudah ada, intinya [sistem komandante] gotong royong itu. Supaya tidak terjadi [perpecahan]. Yang namanya Pemilu Terbuka itu kan jeruk makan jeruk, kami menghindari itu,” tegasnya.
Terkait kritik akademisi perihal sistem komandante PDIP, Sumanto angkat bicara. Tak sedikit akademisi yang menilai sistem komandante PDIP di Jawa Tengah rawan terjadi ‘deal-deal’ di internal partai.
“Oh tidak bisa, malah ini fair. Ini cara menghitungnya saja, kan dalam satu Dapil (kabupaten) ada beberapa kecamatan. Kemudian ada beberapa desa. Kalau dulu mereka bertemu dalam satu kecamatan ini dibatesi saja, tidak ada rekayasa ini, hanya cara perhitungannya saja,” jelasnya.
Sumanto pun menegaskan bahwa seluruh perhitungan suara dalam sistem komandate ini sifatnya transparan.
“Perhitungan internal itu transparan,” ungkapnya.
Saat menanggapi perihal keenam caleg itu, Sumanto menyebutkan beberapa nama, di antaranya Eko Susilo (Dapil 8), Ahmad Ridwan (Dapil 13), dan Dyah Kartika Permanasari (Dapil 2).
“Mas Eko, Mas Ridwan, Mbak Intan, Mbak Dyah, Mbak Tika, dan yang lain, saya lupa namanya,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi