SEMARANG, beritajateng.tv – Sepanjang 2025, Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) mengungkap angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di Jawa Tengah masih tinggi.
Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah, menjelaskan bahwa jenis kekerasan yang pihaknya terima sangat beragam, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual fisik, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sebagian besar kasus yang masuk berkaitan dengan kekerasan seksual.
“Dari data yang masuk ke kami sepanjang 2025, sebanyak 50 persen merupakan kekerasan seksual. Penanganannya tidak mudah karena masih banyak tantangan, terutama dalam proses pelaporan hingga penegakan hukum,” ujar Nihayatul saat dijumpai langsung, Selasa, 24 Juni 2025.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual Online Marak di Jawa Tengah, Modus Pelaku Curhat hingga Minta Foto Sensitif
Ia merinci, saat ini LRC-KJHAM mendampingi 12 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 11 kasus pelecehan seksual fisik, 5 kasus eksploitasi seksual, 2 kasus perkosaan, 2 kasus kekerasan berbasis gender online (KSBE), dan 2 kasus perdagangan orang (trafficking).
Namun, kata Nihayatul, tidak semua kasus bisa langsung berlanjut ke ranah hukum lantaran hambatan dalam pembuktian dan pemahaman aparat, utamanya kepolisian.
“Pelaporan kami mungkin diterima, tapi lagi-lagi karena kekerasan seksual itu kan di ranah privat, untuk alat buktinya jadi tantangan agar bisa dinaikkan ke proses hukum,” ungkapnya.
LRC-KJHAM: Ada kasus kekerasan seksual yang tak tertangani polisi sejak 2022, alat bukti jadi masalahnya
Pihaknya menyoroti salah satu kasus kekerasan seksual yang pernah ia laporkan sejak 2022, namun hingga pertengahan 2025 pelaku tak kunjung polisi tetapkan sebagai tersangka.
“Ada satu kasus kekerasan seksual yang lama banget, dari 2022 sejak UU TPKS tersahkan sampai saat ini masih proses penyelidikan. Artinya, polisi itu masih belum yakin menetapkan siapa sih pelakunya. Padahal kami sudah ada alat bukti dan banyak ahli yang sudah hadir tapi polisi masih belum yakin menetapkan siapa tersangka,” paparnya.
Dalam hematnya, lambatnya proses ini menunjukkan bahwa pemahaman aparat penegak hukum terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih rendah.
BACA JUGA: Suara Perempuan, Suara Perubahan: Gerakan Mahasiswa USM Melawan Kekerasan
Nihayatul menilai aparat masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukan pendekatan spesifik yang tertuang dalam UU TPKS.
“Padahal, UU TPKS sudah memperluas definisi dan jenis alat bukti. Rekaman, foto, bahkan pernyataan psikolog bisa menjadi penguat. Tapi banyak yang masih berpegang pada lima alat bukti versi KUHAP, dan bahkan menganggap korban dewasa tidak mungkin jadi korban kekerasan seksual,” sambung dia.