Banyak Kekerasan Seksual Selesai Secara Kekeluargaan, Pakar Hukum Singgung Restorative Justice

kekerasan seksual anak
Dosen Fakultas Hukum & Komunikasi Soegijapranata Catholic University (SCU), Hotmauli Sidabalok. (Fadia Haris Nur Salsabila/beritajateng.tv)

SEMARANG, beritajateng.tv – Sahnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi Undang-Undang pada 9 Mei 2022 lalu ternyata tak sepenuhnya memberikan keadilan hukum bagi para korban kekerasan seksual. Hingga hari ini misalnya, masih banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang selesai secara kekeluargaan lantaran pelaku masih kerabat terdekat.

Pakar hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum & Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU), Hotmauli Sidabalok menyebut, upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual secara kekeluargaan seakan mencederai rasa keadilan bagi korban. Selain itu, upaya damai ia sebut akan menambah praktik kekerasan seksual pada anak karena tidak ada kepastian hukum yang menanti.

“Pelaku itu biasanya adalah orang-orang terdekat maka seharusnya ada penambahan hukuman sepertiganya. Jadi enggak ada kita membenarkan (mediasi) apalagi pelakunya ayah atau paman, orang-orang yang harusnya melindungi anak.” Katanya kepada beritajateng.tv seusai acara diskusi bulanan yang digelar oleh AJI Semarang, Rabu 15 November 2023.

Adapun kebanyakan kasus kekerasan seksual pada anak yang berakhir secara kekeluargaan kebanyakan berasaskan pada ‘restorative justice’ atau keadilan resoratif. Padahal, kata Hotmauli, RJ hanya dapat di terapkan pada pelaku yang masih di bawah umur dan memiliki masa depan yang panjang.

BACA JUGA: Bocah Perempuan 12 Tahun di Semarang Tewas Diduga Kekerasan Seksual, Kerap Tidur dengan 3 Sosok Ini

Menghindari ‘cycle of abuse’ pada korban maupun pelaku

Ia mencontohkan kekerasan dalam berpacaran di mana pelaku maupun korban masih anak-anak. Ketika pihak perempuan kemudian hamil, langkah selanjutnya bukan dengan menikahkan kedua belah pihak serta bukan sepenuhnya penegakkan hukum yang sama dengan pelaku dewasa, namun dengan tetap mempertimbangkan masa depan keduanya.

“Mengkawinkan itu menyebabkan si korban akan masuk ke dalam jurang lebih dalam. Tetapi di sisi lain restorative justice berperan bagaimana (penyelesaian) ini untuk kepentingan korban. Jadi restorative justice ini seperti cara apa yang kita tempuh agar anak-anak ini masih punya masa depan,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan