BACA JUGA: ‘Sold Out!’: Pernikahan Bukan untuk Membeli Wanita
Di Indonesia, data dari BPS-Susenas pada tahun 2022 mencatat jika 22,52 persen anak tidak dapat mendapatkan pendidikan.
Faktor budaya dan sosial, tentunya juga ‘bermain’ dalam fenomena ini. Banyak komunitas yang menganggap bahwa pernikahan dini adalah cara yang tepat untuk melindungi kehormatan keluarga. Misalnya saja, perempuan, didorong untuk menikah muda demi menjaga diri dari pergaulan bebas, yang mana dianggap dapat menjelekkan nama baik keluarga. Hal ini juga terdukung dari adanya norma-norma masyarakat yang menilai bahwa perempuan yang menikah muda dapat mengurus rumah tangganya dengan baik.
Selain itu, faktor ekonomi, yang tentunya menjadi alasan kuat di balik fenomena praktik pernikahan dini. Seperti penelitian dari Bank Dunia (2017), rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat kemiskinan di kalangan perempuan berkontribusi terhadap adanya praktik pernikahan dini di Indonesia. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan sering melihat solusi atas beban ekonomi keluarga ke anak perempuan mereka, ya, lalu menikahkan anaknya. Dengan ini, nantinya beban ekonomi akan terlimpahkan ke suami dan keluarganya. Padahal, ini hanya akan mengulang siklus kemiskinan, di mana anak-anak terpaksa putus sekolah untuk bekerja menghidupi keluarga mereka.
BACA JUGA: Kemenag Kota Semarang Ungkap Angka Pernikahan yang Terus Turun, Usia Ideal Menikah Jadi 25 Tahun
Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah adanya kekeliruan interpretasi agama. Contohnya saja, kita pasti pernah mendengar adanya pandangan bahwa orang tua menikahkan anaknya dengan tujuan menghindari zina. Nah, alasan tersebut seperti menormalisasi perkawinan dini. Padahal, banyak ajaran agama yang menekankan pentingnya kesiapan emosional, fisik dan mental sebelum menikah.
“Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat Anugerah-Nya.” (QS An-Nur [24]: 31) Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi di anjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya. “Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan.” (QS An-Nur [24]: 33).
Dari sini, kita dapat memahami bahwa pernikahan dini merupakan masalah kompleks yang tak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan saja. Sebab, banyak faktor yang menjadi penyebab adanya fenomena ini, yakni faktor pendidikan, budaya dan sosial, interpretasi agama. Maka dari itu, kita harus menyadari bahwa anak-anak memiliki hak-hak tersendiri yang harus didukung demi membangun masa depan yang lebih baik, salah satunya hak untuk berbahagia tanpa ada tekanan untuk menikah sebelum waktunya.
Farah Nazila
Editor beritajateng.tv