MK, sebuah penerbit independen asal Jakarta Selatan, belum lama ini menjadi sasaran amuk warganet perbukuan di X lantaran mengaku menggunakan sampul hasil akal imitasi (AI), persisnya generative artificial intelligence, pada salah satu buku terbitannya. Orang-orang mencurigai, lantas mendakwa dengan menampilkan sederet bukti, bahwa buku yang dimaksud mempergunakan gambar AI. Dan MK, seolah-olah tersudut, membuat pengakuan, “Menurut desainernya: iya [sampul itu ciptaan AI] 🙂”
Tak sedikit pembaca buku-buku terbitan MK yang menyayangkan. Mereka tak henti-hentinya mendamprat. Kecewa, tentu saja. Pasalnya, sejak mula MK mendaku diri sebagai penerbit progresif, lebih-lebih berhaluan kiri, yang mestinya peduli pada kelas pekerja, khususnya seniman grafis yang paling banyak kecewa oleh keputusannya mempergunakan AI alih-alih ilustrasi karya seorang perupa.
Pembelaan MK dengan sekian belas postingan di X pun tak mampu memadamkan api yang kadung berkobar. Sebaliknya, hal itu membuat api semakin membara, dengan salah satu poin pembelaannya menyebut pemerintah, lewat kementerian pendidikan, juga mendayagunakan AI pada salah satu produk buku pembelajarannya.
Kiri membebek pemerintah: Meledak!
Dari sekian banyak kontra narasi, yang sebagian besar penggaungnya ialah para ilustrator, yaitu: gambar hasil generative AI tidaklah etis. Sebab, gambar tersebut merupakan ciptaan campur aduk dari ratus-ribuan bahkan jutaan gambar karya para ilustrator di internet, yang, tanpa persetujuan, menjadi “bahan belajar” AI. Tanpa persetujuan, tanpa consent, di situlah letak tidak etisnya. Terlebih, kasus gambar sampul hasil AI tadi penggunaannya untuk tujuan komersial, sebagai buku yang diperjualbelikan.
Mendang-mending gambar AI
Penggunaan AI di segala bidang, tak terkecuali kesenian, memang masih menimbulkan pro dan kontra hingga kini. AI saja mampu menciptakan lagu sendiri, apalagi sekadar gambar grafis? Semua bahan ada di bank data mereka. Itulah yang jadi soal: pencipta karya tak tahu kapan dan bagaimana potongan ciptaan mereka bisa saja sekonyong-konyong muncul dalam hasil gambar yang seseorang generate dari AI.
Begitulah agaknya generative AI bekerja. Sehingga, meng-generate gambar AI berkemungkinan memunculkan lebih dari satu potongan karya dari tak sedikit perupa grafis dalam satu gambar-gado-gado. Bagaimana kalau tiap potongan itu masih berhak cipta? Seberapa banyak gambar AI melanggar hak cipta?
Seorang pengguna AI lainnya boleh jadi berkilah: “Bagaimana kalau saya mempergunakan AI untuk menerapkan palet warna atau art style gambar orang lain pada karya ciptaan sendiri?”
Sebelum adanya AI, orang mengejawantahkan prompt “Buatkan gambar A-B-C dengan gaya perupa X-Y-Z” dengan cara sebagaimana di atas, meskipun secara manual, yakni meminjam (untuk tak menyebutnya mencuri) pilihan warna serta gaya seni perupa lain. Kini, dengan adanya AI, orang gampang saja melakukan hal yang sama dengan prompt gambar ulang alias redraw sesuai warna atau gaya siapa pun seenak hasrat; meskipun, seseorang yang jeli tak akan sungkan mendakwa beberapa bagiannya sebagai plagiasi, curian akal imitasi!
Lantas, tidak etis pulakah meniru warna atau gaya gambar dengan bantuan AI? Seberapa tak etis ketimbang meng-generate gambar sepenuhnya dari AI? Masih tidak etiskah bila seseorang mereka-ulang, menggambar-ulang, menciptakan-ulang hasil ciptaan AI?
Tarik-tolak AI
Alkitab (Pengkhotbah 1:9) bersabda, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Sementara Pablo Picasso, seniman besar kelahiran Spanyol, berujar, “Seniman baik-baik meminjam; seniman hebat mencuri.”
AI melakukan nyaris semua yang tersebut dalam kedua ujaran itu. Ia mengadakan sesuatu yang pernah ada. Ia membuat sesuatu yang pernah dibuat. Ia tidak menciptakan sesuatu yang baru (sekadar terlihat seolah baru) di bawah matahari. Ia meminjam karya orang lain dalam database miliknya sebagai bahan penciptaan. Tapi yang jelas, ia memang kerap kali kedapatan mencuri. Sebagain orang yang pro AI akan menganggapnya hebat, dan sebagian yang lain akan terus melontarkan kontra.
Terhadap mereka yang pro AI, saya bisa saja tolak-menolak, tak sependapat dengan mereka. Sementara terhadap mereka yang kontra AI, saya boleh jadi tarik-menarik, sependapat dengan mereka. Demikianlah bagaikan magnet saya memiliki kutub yang pro sekaligus kutub yang kontra: saya setuju AI sungguh membantu dalam ihwal sebagai tools pengolah; tetapi ia sebagai pencipta dari ketiadaan (alias semata bermodal prompt), saya: Enggak dulu, deh…. (*)
Mu’ammar R. Qadafi
Editor beritajateng.tv