Pada tradisi perang air atau Gebyur Bustaman, warga dan pengunjung terlebih dahulu harus mencoret-coret wajahnya menggunakan cat air. Menurut Hari, coretan itu melambangkan dosa dan kesalahan yang manusia miliki.
Setelah semua wajah penuh coretan, perang air kemudian dimulai. Warga akan saling melempari satu sama lain dengan air yang telah dimasukkan ke dalam plastik.
Tak hanya itu, beberapa orang juga menunggu di lantai 2 rumah-rumah warga untuk melempar dan menyiram air dari atas.
“Coret-coret lambang melunturkan dosa dan kesalahan. Setelah merata corengnya, masyarakat Bustaman dan yang datang kita gebyur, implementasi bersih coreng-corengannya dosa ini, jadi menjelang puasa bersih dosa,” imbuhnya.
Gebyuran Bustaman adalah budaya khas Kota Semarang
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Wing Wiyarso, menyebut Gebyuran Bustaman adalah salah satu budaya khas Semarang yang patut masyarakat lestarikan. Pasalnya, tradisi ini tidak dapat kita temukan di tempat lain.
BACA JUGA: Dulunya Masyhur Sebagai ‘Kampung Jagal’, Begini Kisah Kampung Bustaman Sekarang
Pihaknya pun berjanji akan menjadikan penyelenggaraan Gebyuran Bustaman tahun depan menjadi lebih menarik. Salah satu tujuannya yaitu untuk mendatangkan lebih banyak wisatawan.
“Kita harap prosesi ini bisa memperkuat wisatawan. Ini salah satu upaya kita dalam tahap pelestarian dan pengembangan di sektor pariwisata,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi