SEMARANG, beritajateng.tv – Pengamat Politik Universitas Diponegoro (Undip), Nur Hidayat Sardini (NHS), menilai Dwifungsi TNI yang membolehkan prajurit menempati jabatan sipil di sejumlah lembaga dan instansi yang krusial justru seperti kembali pada pemerintahan Orde Baru (Orba).
“Kalau memang itu [TNI mau menempati jabatan sipil] kan pensiun dulu saja kenapa? Bukan tidak boleh, tapi persyaratannya pensiun dulu. Yang berarti itu kan [jadi kecaman masyarakat] karena masih aktif,” ungkap NHS, Kamis, 20 Maret 2025.
Menurutnya, tidak lazim apabila TNI terlalu terlibat dalam urusan sipil di luar urusan perang dan keamanan.
Justru, kata NHS, hal itu bertentangan dengan amanat reformasi yang menghapuskan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang kini sebutannya TNI.
“Kalau sudah pensiun kan bebas, mau jadi [anggota] partai, mau promosi di jabatan sipil, itu boleh. Poinnya yang tidak boleh kan karena masih aktif,” ungkap dia.
NHS mengemukakan bahwa TNI selama ini berada di balik impunitas melalui peradilan militer yang khusus untuk mereka.
BACA JUGA: Tanggapi UU TNI, Pengamat Undip Singgung Trauma Sejarah: Ingatan Kolektif Rakyat Belum Hilang
“Selama ini TNI berada di balik impunitas kan. TNI selalu di balik dengan peradilan yang spesifik buat mereka,” ujar NHS.
Menurutnya, anggota aktif TNI yang melakukan tindak kriminal seharusnya tidak hanya peradilan militer yang mengadili, tetapi juga oleh peradilan sipil, jika TNI tetap menginginkan jabatan sipil dalam instansi atau lembaga pemerintah.
“Karena kita tahu bahwa ketentuan [hukum] internasional misalnya juga lebih menekankan sipil. Kecuali dalam masa perang ya. Orang sekarang tidak pada masa perang, ya artinya perikehidupan sipil harus didudukkan,” tegas NHS.
Ia menambahkan, kriminalitas yang melibatkan anggota militer semestinya dapat diproses secara terbuka di peradilan sipil agar korban mendapatkan keadilan.
Penolakan masyarakat terhadap kembalinya TNI di jabatan sipil melalui UU TNI juga disebabkan oleh pengalaman buruk di masa lalu.
Struktural di lembaga sipil tak penting, lebih penting fungsionalitas TNI
NHS menegaskan, TNI tidak perlu menjadi pejabat di lembaga-lembaga sipil untuk dapat berperan secara fungsional. Ia mencontohkan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang tak harus seorang TNI yang memimpin.
“Koordinasi TNI terutama TNI Angkatan Laut yang Panglima TNI putuskan dengan Kasal. Itu sesungguhnya fungsional tanpa harus menjadikan orang TNI ada di jabatan sipil. Yang dipertimbangkan bukan strukturalnya tapi fungsionalnya,” ucapnya.
Melalui Pasal 47 UU TNI, jumlah kementerian dan lembaga yang dapat prajurit aktif isi mencapai 16 instansi, termasuk Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Dewan Pertahanan Nasional, serta Kejaksaan Republik Indonesia.
“Kesannya memang mengekstensi terhadap keterlibatan TNI ke sektor-sektor sipil gitu. Nah, paling bagus sih, kenapa tidak secara spesifik TNI harusnya kita banggakan semata sebagai alat pertahanan kecuali diperlukan oleh karena sejumlah hal,” pungkasnya.
BACA JUGA: Ratusan Mahasiswa Semarang Marah Imbas DPR RI Sahkan UU TNI, Khawatir Abuse of Power Militer
Sebagai informasi, berikut 16 posisi yang bisa TNI aktif isi:
Respon (1)