Mufid menilai, pada saat tempat hiburan menerapkan charge tinggi akibat pajak yang pemerintah bebankan, pihaknya yakin akan ada aduan yang masuk dari konsumen.
Bakal berdampak ke sektor pariwisata
Meskipun ia memahami pajak sebagai sumber pendapatan negara yang penting, namun kenaikan 40 hingga 75 persen bagi tempat hiburan kurang tepat. Alasannya, tempat hiburan di Indonesia baru saja bangkit perlahan usai pandemi Covid-19 berakhir.
“Memang pertumbuhan tempat hiburan di Indonesia semakin meningkat. Tempat hiburan itu baru saja bangun, karena ketika pandemi mereka pingsan bahkan banyak yang mati. Ibaratnya, mereka itu baru merangkak untuk bangkit kembali, recovery lah untuk bisa eksis dan mendapat keuntungan,” jelas Mufid.
Bagi Mufid, pengenaan pajak hiburan 40 hingga 70 persen juga akan berdampak pada sektor pariwisata. Sebab, tempat hiburan di Indonesia berkaitan erat dengan sektor tersebut.
“Meski dari aspek pendapatan negara meningkat, tapi itu kurang bagus bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya pariwisata. Tempat hiburan kan masuknya ke sektor pariwisata. Yang berdampak pada bisnis hiburan kalau pajaknya naik itu banyak, tidak cuma dari core (inti) bisnisnya, tetapi pada bisnis lain juga,” tegasnya.
BACA JUGA: Pengelola Usaha Pariwisata Semarang Didorong Gunakan Aplikasi PeduliLindungi
Kenaikan pajak hiburan sebesar 40 hingga 70 persen itu menurutnya akan pelaku usaha bebankan kepada konsumen. Ia menilai, tarif hiburan setelah terkena pajak itu akan mengubah preferensi konsumen
“Saya yakin 100 persen akan pengusaha bebankan pada konsumen, pasti akan ada kenaikan tarif. Itu juga akan berpengaruh pada preferensi konsumen, konsumen bisa saja hilang,” tegasnya.
Tak hanya itu, Mufid menyebut persaingan tak sehat antar pengusaha hiburan juga bisa saja terjadi.
“Ada yang melakukan efisiensi, menekan biaya agar harga lebih murah. Mungkin ada aspek pelayanan lain yang berkurang atau tidak diberikan. Dampaknya juga berakhir pada konsumen,” sambungnya.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk memerhatikan kondisi pelaku usaha hiburan yang baru bangkit pasca pandemi. Menurutnya, penting untuk menetapkan pajak sesuai nominal yang wajar dan tak memberatkan pelaku usaha maupun konsumen.
Pelaku usaha bakal terseok-seok
“Kalau misalnya sudah kondusif boleh lah ada kenaikan pajak, kalau pajaknya sebesar itu, saya melihat itu berat. Paling tidak kalau kenaikannya 10 sampai 20 persen wajar. Tapi kalau di atas 40 bahkan 75 persen, pelaku usaha akan terseok-seok padahal baru saja bangun dari pandemi,” tandasnya.
Sementara itu, Pemkot Semarang melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) tengah menyiapkan kajian untuk menindaklanjuti keberatan yang para pengusaha hiburan rasakan terkait kenaikan pajak.
BACA JUGA: Genjot PAD dari Sektor Wisata, Pemkot Semarang Lakukan Langkah Ini
“Kami sedang menyusun kajian supaya Walikota bisa mengambil kebijakan terkait hal ini. Jika memang teman-teman pengusaha merasa keberatan, bisa komunikasi dengan Bapenda, baik langsung atau bersurat lebih baik. Intinya tidak mungkin Ibu Walikota membiarkan masyarakat keberatan membayar pajak,” kata Kepala Bapenda Kota Semarang, Indriyasari, Kamis 18 Januari 2024.
Iin, sapaan akrabnya menjelaskan, pada dasarnya kenaikan pajak hiburan tertentu (karaoke, klab, diskotek, dan spa) merupakan implementasi aturan pemerintah pusat. Yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pemkot sebut masih proses penyusunan Perda
Sementara pada Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2023 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2024, tidak ada lagi yang namanya pajak hiburan. Namun berubah menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Selain itu, tidak semua pajak tempat hiburan akan naik sebesar 40-75 persen.
Menurutnya, saat masih proses penyusunan Perda dan sebelum resmi berlaku, telah ada public hearing serta sosialisasi kepada masyarakat.
“Dari Perda tersebut, Kota Semarang berencana mengambil yang terendah yaitu 40 persen. Kalau keberatan, silakan ceritakan kepada kami secara resmi agar kami tahu kondisi usahanya. Ini bilang keberatan tapi tidak ada surat (yang menyatakan keberatan) yang masuk ke Bapenda,” lanjut Iin.
Pada sisi lain, ia juga menyoroti belum semua wajib pajak membayar pajak sesuai ketentuan, bahkan sebelum terjadi kenaikan pajak.
“Harapan kami tidak hanya mengajukan keberatan saja, tetapi tolong kami diberikan data-datanya. Selama ini apakah sudah sesuai. Izinkan kami juga melakukan pemeriksaan apakah betul (pajak yang pengusaha bayarkan) sudah sesuai aturan,” imbuhnya.
Ada 461 objek pajak dari sektor hiburan di Kota Semarang
Ia mengajak masyarakat untuk disiplin dalam membayar pajak demi kelancaran pelaksanaan pembangunan.
“Ibu Walikota pasti mendengarkan tentang keberatan ini. Mari kita saling introspeksi, membayar pajak sesuai aturan dan kenyataan,” ujarnya.
Di Kota Semarang sendiri, terdapat 461 objek pajak dari sektor hiburan, baik itu karaoke, spa, klab, bar dan sebagainya.
Terkait kontribusi sektor hiburan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Iin menyebut jika pada tahun 2023 pendapatan sektor hiburan mencapai Rp 33.230.069.176 atau 1,5 persen dari total pajak di Kota Semarang.
“Pajak hiburan saat ini sudah berganti menjadi Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT). Tahun 2024 ini target PBJT Kota Semarang sebesar Rp 67 miliar,” imbuhnya.
Iin mengaku selama ini memang pengusaha hiburan rata-rata telah membayarkan pajaknya. Namun untuk tingkat kepatuhannya masih perlu pengujian kembali.
BACA JUGA: Tips Jadi Pengusaha Sukses dari Ketua Kadin Kota Semarang
“Rata-rata pengusaha di Kota Semarang memang sudah tertib membayarkan pajaknya, tetapi jumlahnya yang terus akan kita lakukan pemantauan,” lanjutnya.
Walikota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, saat ini pihaknya menunggu hasil judicial review tentang kenaikan pajak hiburan tersebut. Ia memastikan akan mencari jalan tengah yang terbaik.
“Regulasinya sebenarnya kan dari pemerintah pusat, ini masih judicial review. Nanti kalau memang ada yang keberatan, kita selalu terbuka. Bisa saja meminta keringanan. Saat ini saya minta Bapenda melakukan kajian, berapa sih idealnya,” kata perempuan yang akrab dengan sapaan Mbak Ita tersebut. Ia juga mempertimbangkan regulasi pajak dari pemerintah pusat untuk menentukan kebijakan.
“Umpamanya memang wajib, kita pemerintah kota pasti akan memilih angka terendah,” ujarnya.
“Kalau memang ada yang keberatan, kita terbuka seandainya ada yang minta keringanan. Karena kadang-kadang kan peraturan itu bisa baku (saklek) bisa tidak. Kami inginnya mengusahakan yang terbaik,” katanya.
Dewan minta pemerintah biarkan pengusaha bernafas
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Wahyoe Winarto meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan pajak hiburan.
Menurutnya, momentum menaikkan pajak hiburan saat ini belum tepat karena beberapa pertimbangan. Apalagi, tahun ini merupakan tahun politik. Selain itu, ekonomi masyarakat juga masih lemah pasca pandemi Covid-19.
“Jangan sampai pajak hiburan malah mematikan pendapatan bidang hiburan,” ujar Liluk, sapaannya, Kamis 18 Januari 2024.
Liluk menilai, rencana menaikan pajak 40-70 persen ini kurang bijak. Rencana ini bisa pemerintah batalkan terlebih dahulu. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.
BACA JUGA: DPRD Kota Semarang Mengesahkan Perda Baru Pengawasan Minuman Beralkohol
“Kemarin saya dengar Pak Luhut membatalkan dulu. Kita lihat. Menurut kami, 40 persen terlalu tinggi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Liluk mengatakan, pemerintah boleh mengambil kebijakan kenaikan pajak hiburan. Namun perlu ada diskusi atau dengar pendapat dengan para pelaku hiburan agar tidak memberatkan.
“Biar mereka bisa bernafas, pemerintah juga bisa mendapatkan pendapatan,” ucapnya.
Ia berharap besaran kenaikan pajak bisa pemerintah pertimbangkan kembali. Pasalnya, pelaku hiburan baru saja bangkit setelah pandemi Covid-19. Mereka merupakan sektor yang paling terdampak saat pandemi.
“Mereka terdampak pembatasan bahkan penutupan. Istilahnya, baru merangkak, kena pajak tinggi. Harapannya pemerintah mempertimbangkan lagi,” tuturnya. (*)
Reporter: Made Dinda Yadnya Swari, Fadia Haris Nur Salsabila, Elly Amaliyah
Editor: Ricky Fitriyanto